Banyak orang sudah pada tahu, apa itu 'Bel-bu'.
Bel-bu adalah 'RW'.
Rw adalah B1.
B1 adalah tapianauli.
Tapianauli, adalah penjual lapo.
Lapo adalah, semacam rica-rica, terbuat dari daging.
Dagingnya, daging anjing.
Kerap dimasak sebagai tongseng. Tongseng sebagai jamu.
Maka disebut dengan nama sandi, 'Tongseng Jamu'.
Anjing, sebutan lain-nya 'Asu'.
Maka, tongseng daging anjing, disebut juga 'Tong-seng Asu'. Disingkat, 'Seng-Su'.
Bahasa prokem Jogya, meng-istilahkannya, 'Bel-bu'.
1. Saya asli dari Kecamatan Gamping Yogya. Jika pulang, kerap lewat Pasar Godean. Pasar itu ramai, baik siang maupun malam. Di sekitar pasar, jika malam, terdapat penjual 'Bel-Bu'. Tak-tanggung-tanggung, tak hanya satu, melainkan empat. Ada empat penjual bel-bu. Maksud lewat pasar itu, a.l untuk menikmati 'Bel-bu'.
Ketika ramai-ramai gejolak FPI, penjual-penjual bel-bu itu didatangi, digrebeg oleh kelompok berseragam agamis warna putih berlabelkan 'fpi' itu. Para penjual dituntut untuk menghentikan kegiatannya. Dilarang jualan bel-bu. Alasannya, bel-bu hukumnya haram. Dilarang agama, dilarang Tuhan. Jika nekat makan bel-bu, tak akan masuk akhirat.
Antara kelompok agamis berseragam putih, dengan para penjual bel-bu bersitegang. Penjual bel-bu, menantang kelompok agamis berseragam warna putih, 'Silahkan nglarang orang jualan, tapi ganti kami dengan pekerjaan. Kami harus kerja apa. Anak-istri, keluarga butuh makan. Kami cari nafkah. Kami jualan, untuk me-nafkah-i anak-anak...........!?'.
Masa fpi, cukup banyak. Daripada ribut, para penjual bel-bu, meng-iya-kan desakan para laskar agamis berseragam putih, yang demikian ngototnya membela agama, membela Tuhan. Tapi karena para laskar tak beri solusi nafkah, empat hari kemudian, para penjual bel-bu, bukak lagi. Pembeli-nya, juga berdatangan lagi, membeli, menikmati belbu. Murah-meriah.
2. Sebuah kios di tepian lapangan Jatilawang, Banyumas, juga jualan bel-bu. Orangnya sederhana, ramah. Anaknya perempuan, SD klas dua. Badannya gendhut. Mungkin, karena juga kerap menikmati bel-bu. Kemarin, kijang hijau dinas, paroki Katedral, juga mampir ke kios tersebut. Menikmati bel-bu. Rasanya enak. Harganya, pas. Enam-ribu-rupiah.
3. Di pertigaan jalan ke arah Wisma Kaliori, & Wisma Catur nugraha, juga terdapat sebuah warung di tengah kebun, semi ladang. Warung itu juga jualan bel-bu. Cukup laris, orang-orang desa pada beli.
Agamawan tertentu, memang meng-haram-kan bel-bu.
Tak tahu, apa kepantasan seseorang masuk sorga ditentukan hanya dengan tidak makan bel-bu. Kok terlalu simplis. Terlalu simpel. Bukankah bel-bu, juga ciptaan Tuhan. Diciptakan untuk menunjang hidup manusia. Dan arah manusia adalah memuliakan Allah. Bel-bu, bukankah, sehat, murah-meriah, terjangkau.
Masyarakat, yang mengkonsumsi bel-bu, biasanya toleran. Tak fanatik.
Selamat menikmati suasana toleran, suasana tak fanatik.
Dan itu, berkat, 'Bel-bu'.
Syalom. Wilujeng wengi. Rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-