Sabtu, Juni 27, 2009

'.......em'

Spring Bunny EcardSalah satu bis AKAP, trayek Purwokerto - Yogya, bernama PO 'Baker'. Pusatnya di Yogya. Pendiri perusahaan otobus, bernama Pak Baker. Usia perusahaan angkutan itu lebih tua daripada Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta. Didirikan, sebelum pemakluman kemerdekaan.

Banyak orang Belanda, punya nama keluarga, 'Baker'. Beberapa imam misionaris, dosen teologi dan anthropolog, juga bernama 'Baker'. Kata alm. Rm Anton Baker SJ, di Belanda memang banyak orang bernama demikian. Jika melihat daftar nama penduduk, bisa dijumpai banyak nama 'Baker'. Nomor satu, Baker. Nomor dua, Baker. Nomor tiga, Baker. Dst. Asal muasalnya, nama Baker, ber-asal dari tukang roti.

Di masyarakat Jawa, banyak wanita, terutama jaman dulu, nama-nya kerap ber-akhir-an 'em'. Ada Sarinem, Juminten, Kasinem. Painem. Wartiyem. Ada pula, di Banyumas nama-nama, 'Watem'. Sanem. Rubinem. Karsem. Dan masih banyak nama-nama lain lagi, yang pakai akhiran '....em'.

Apa latar-belakang, atau asal-muasalnya, bisa demikian. Salah seorang umat, bertempat tinggal di kawasan Banyumas, yang nama-dirinya pakai unsur '....em', bercerita. Ketika dia bayi, orang-tuanya memberi nama dia dengan unsur '....em', dengan harapan agar tidak mudah nangis. Tidak rewel, tidak cengeng. Anak yang tidak nangis berarti diam. Mulutnya tertutup. Mulut dalam kondisi tertutup, disebut 'mingkem'.

Orang bijak, tahu kapan & dimana, musti 'ngomong',
kapan pula harus tidak 'omong'.
Kapan harus buka mulut, dan kapan harus 'ming....... '.

Selamat '......kem', --nb: pada waktunya--.

Syalom. Wilujeng ndalu. Rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-

Jumat, Juni 26, 2009

Jum'at Kliwonan, dapet-nya 'thuyul'

Selasa minggu lalu, adalah 'malem Selasa kliwon'. Jum'at minggu ini, adalah juga 'malem jum'at kliwon'. Waktu-waktu demikian, bagi para pedagang pantura, antara Tegal - Batang, merupakan saat-saat sakral. Banyak di antara mereka pada libur. Demikian juga di kawasan pantai selatan. Saat-saat sakral diisi dengan kegiatan kerohanian. Banyak yang melakukan tirakatan di tempat-tempat tertentu. Juga tak terkecuali di daerah Purwokerto, banyak orang masih menghayati saat-saat demikian untuk memberi perhatian pada alam kerohanian.

Tak ketinggalan, Paroki Katedral Kristus raja mengadakan pula malam tirakatan, 'Jum'at kliwonan'. Beberapa stasi juga menyelenggarakan hal yang sama. Stasi Genthawangi, mengadakan malem-Jum'at-kliwonan, dengan mengadakan misa malam. Stasi Ajibarang, mengadakan misa pas saat Jumat kliwon dengan memakai bahasa Jawa-Banyumasan. Kebetulan saat itu jadwal misa harian. Bertepatan dengan malam jumat kliwonan.

Sebelumnya, Stasi Wangon juga mengadakan doa malam tirakatan 'Malem Selasa Kliwonan'. Diadakan misa di depan Gua Maria. Waktunya malam, jam tuju-an. Dipakai liturgi jawa. Homilinya, jawa banyumasan. Demikian juga tema homilinya. Dibuat ajakan para umat melihat tentang hakekat manusia, pria dan wanita. Dunia. Juga alam sekitar, ruang, waktu. Dan mengapa ada jumat kliwon. Apa maksudnya. Diangkat juga hal faham jawa, tentang dunia-ciptaan. Tak ketinggalan, tentang ciptaan tak kasat mata, alias lelembut.

Dunia lelembut, adalah dunia lembut. Kecil, bahkan lebih kecil daripada rambut. Termasuk di situ, jin, dhemit, thuyul, gendruwo, wedon, kuntilanak, banaspati, dsb. Untuk itu, dibuka, dibacakan buku pendukung. Yang dipakai ketika itu, adalah buku tentang 'paranormal', terbitan 'Nusatama Yogyakarta'. Salah satu bab, cerita-cerita tentang pengalaman meng-alami thuyul-thuyul. Rupanya, tema kecil ini yang banyak menarik perhatian. Sehingga buku, yang memuat tentang thuyul-pun, dipinjam oleh umat-umat. Saat ini belum kembali. Ternyata, sudah dipinjam, berganti tangan. Dari tangan satu ke tangan yang lain. Banyak orang yang ingin tahu tentang 'thuyul'.

Sistem Hitungan hari, Pon-Wage-Kliwon-Legi-Pahing, adalah sebuah ke-arif-an lokal. Hasil 'budi' dan 'daya' lokal. Menjadi sebuah butir-butir kebudayaan. Sekarang masih dipakai, sekarang masih dimaknai. Sekarang masih di-hayat-i. Gereja, akan mendarat, dirasakan keramahannya, bagi masyarakat, jika memperhatikan ke-arifan-ke-arifan lokal.

Selamat, menjadi arif. Juga secara lokal.
Syalom. Wilujeng ndalu. Rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-

Rabu, Juni 24, 2009

Mie Ayam

Seorang umat di daerah minus, Pengadegan, tepatnya, ingin menjadikan 'plus' hidup ekonomi keluarganya. Lalu diputarlah otak, berusaha. Dibukanya sebuah warung 'mie ayam'. Posisinya di pinggir jalan desa, persis di depan rumah emaknya. Perlengkapan yang tentu tak ketinggalan adalah gerobak mie ayam. Dipelajari dan dikuasainya meracik bumbu mie-ayam. Dengan maksud agar rasanya enak, harga terjangkau dan tentu saja lalu laris. Harapannya, rezeki cair terus.

Apa yang di angan, ternyata jadi kenyataan. Begitu dibuka, warung mie ayam laris. Dari hari ke hari, laris manis. Diakui banyak orang, rasanya memang enak. Warung mie-ayam, menjadi besar dan bisa jadi tumpuan ekonomi, itulah harapan yang dibayangkan.

Namun sayang, enaknya mie ayam, tak seenak sikap dan reaksi orang. Terutama orang yang tak suka. Ada saja orang yang tak suka keberhasilan orang lain.

Kebetulan, yang buka usaha seorang beriman kristen. Tak sembarang kristen. Melainkan kristen-katolik. Tak sembarang katolik, melainkan katolik-roma. Dari sejarahnya, pemeluk kristen aliran ini, kerap tak disukai orang. Bukan karena buruk tabiatnya, melainkan karena baik kinerjanya. Itu biasanya lho !.

Ternyata sejarah macam itu ber-ulang. Ada tetangga, yang tak senang dengan usaha mie ayam yang berkembang itu. Rasa 'tak-senang' itu, tak hanya disimpan dalam hati oleh si tetangga. Melainkan dipraktekannya. Agama kristen yang dipelulk si pemilik warung mie ayam, digunakannya untuk menghancurkan usaha. Diceritakannya, pada orang-orang sekitar, baik sedesa maupun luar desa, disarankan agar jangan beli mie ayam yang enak itu. Alasannya, satu, mie ayam itu, 'mie ayam kristen'. Jangan beli yang dari kristen-kristen itu. Dus jadilah si tetangga, sebagai penggosip. Tak hanya penggosip, malainkan malah jadi provokator. Memprovokasi, supaya orang tak beli mie ayam.

Efek buruk dari provokasi itu, ternyata mandi bin mujarab. Lama kelamaan, warung mie ayam di pinggir desa makin sepi. Lama kelamaan pula, pengeluaran dengan pendapatan, jadi tak imbang. Pendapatan, selalu jadi lebih kecil. Akhir di kata, warung mie-ayam-pun terpaksa ditutup.

Umat si pemilik warung mie ayam, sudah tahu mengapa jadi begini. Salah satu saudaranya memberitahu, perihal kegiatan sabotase, oleh si tetangga itu. Maka dia tak kaget. Hanya lalu satu yang bisa dilakukannnya, 'Ngelus dha-dha'. Kok, ya, ada, manusia macam itu. Tentu saja, dia juga berdoa. Mendoakan si tetangga, yang bikin petaka. Hatinya prihatin. Perih dalam batin. Prihatin dengan keadaan.

Keprihatinan umat pemilik warung mie-ayam, ternyata ber-efek. Tak tahu apakah karya Tuhan yang mahakuasa, atau siapa. Yang jelas, dalam perkembangannya, si tetangga yang provokator--yang ajak orang agar tak beli mie ayam kristen--, tiba-tiba rumahnya disita bank. Salah satu anggota keluarganya, diam-diam memakai sertifikat rumah, untuk agunan bank, guna dapat kredit. Dan ternyata, kreditnya 'macet'. Kini si tetangga, hidupnya terlunta-lunta. Rumah tak punya, harus ngindung pada rumah tetangga. Tentu saja yang sedang 'kosong'.

a. Orang beragama kristen katolik, kerap dipersulit. Namun, di belakang kesulitan, kerap pula muncul 'rahmat', dan berkat tak terduga.
b. Di belakang agama katolik, ada Yesus Kristus. Siapapun tahu, siapa Dia. Allah yang menjelma jadi manusia. Mempermainkan agama katolik, mempermainkan pula 'Dia', yang menjelma jadi manusia.
c. Orang jawa kerap bilang, 'Gusti Allah ora sare..........'
d. Di belakang agama, ada Tuhan, yang kepadanya orang ber-iman. Mempermainkan agama, sama saja mem-permainkan Tuhan. Bisa fatal, bermain-main dengan agama.

Syalom. Wilujeng wengi. Rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-

Sabtu, Juni 20, 2009

Yesus Kretus II

Birds collection
Pengadegan, adalah sebuah wilayah perbatasan antara Kab. Banyumas dengan Cilacap. Kontur tanahnya, bergunung-gunung, semi kapur. Mau dikatakan subur, tidak. Dikatakan gersang, juga tak begitu. Namun banyak warga yang masih hidup dalam level garis kemiskinan. Termasuk di antaranya, beberapa warga katolik.

Suatu pagi, Kijang dinas hijau, meluncur ke daerah tersebut, untuk menjumpai seorang umat, yang pernah diikutkan kursus UKM, pertanian organik, & jamur di Salatiga. Sampai di rumahnya, yang terjumpai mamaknya. Dalam pertemuan model anjangsana-nan, banyak kisah dan cerita dinarasikan olehnya. Yang aktual, adalah kisah anaknya ikut kerja, ngode di tempat seorang juragan hotel di kawasan pangandaran. Sebut saja juragan hotel itu bernama Pak Dul.

Pak Dul, semula berpenghayatan agama asli. Di Ka-Te-pe-nya tercantuma agama......(mayoritas), karena ketika dia dapat Ka-te-pe itu, tak ada kolom agama, yang boleh bertuliskan 'agama asli'. Dalam perjalanan hidupnya, Pak Dul senang berpuasa, matiraga, dan berdoa. Nenepi, wungon, tapa, tahajud, semedi adalah model-model doa rohaniah yang biasa dijalankannya. Yang dia cari adalah bisa menghayati hidup sejati.

Karena rumahnya, dekat pantai, kerap ia bermenung, bersemedi dengan memandang, menatap laut. Suatu kesempatan, dia berusaha wungon, 40 hari sebisa mungkin tak tidur. Dalam masa askese, matiraga itu, di sesi menjelang akhir dia mengalami kejadian yang tidak biasa. Atau malah luar biasa. Suatu malam, dia berdoa dengan menghadap laut yang gelap. Ketika berkonsentrasi memperhatikan ombak air yang berdeburan, naik-turun, tiba-tiba di atas air kelihatanlah olehnya, sesosok pria berambut panjang, berjubah putih. Secara detail diperhatikan, semakin heranlah batinnya, sosok pribadi yang dia amati itu ternyata persis figur orang yang menjadi sesembahan orang Katolik. Sosok pribadi itu amat mengesan bagi diri Pak dul. Sesudah pengalaman pribadi itu, dia kerap mengunjungi Gereja, untuk men-cocok-kan, sosok orang yang pernah dilihatnya, dengan sosok-pribadi yang kepadaNya orang katolik berdoa. Doa-doa diarahkannya, pada figur-pribadi yang pernah dilihatnya di pantai, di atas air ombak. Batinnya merasa cocok dengan sosok pribadi itu. Apalagi dikuatkan terus oleh sabda-sabda yang selalu dibacakan di sana, di gereja. Dan sabda itu, kemudian diketahuinya, adalah sabda, firman, ajaran dari sosok orang yang pernah mem-tampak-i-nya di pantai. Itulah firman, ajaran "Yesus Kretus', menurut ucapan 'Sang mamak', seorang umat di Pengadegan. "Pak Dul ikut katolik, karena melihat 'Yesus Kretus' di pantai", katanya.

Ajaran yang demikian membekas pada Pak Dul, adalah bagian yang menekankan kepedulian pada sesama, terutama sesama yang menderita. Karena itu, Pak Dul, sesudah berkecukupan, selalu memberikan bagian keberhasilan usahanya untuk bantu sesama yang berkekurangan. Di ambilnya karyawan-karyawan, dididiknya jadi orang mapan. Didirikan pula rumah-rumah di daerah terpencil, dengan maksud agar akses ke daerah tersebut menjadi terbuka. Dari itu dia berharap, daerah yang tertinggal, bisa jadi maju.

Kebetulan, Gereja Keuskupan Purwokerto sedang getol mengajak umat mengadakan program 'Gerah', Gerakan Seratus Rupiah. Inti dari gerakan itu adalah nilai 'Solidaritas'. Solidaritas untuk sesama, terutama yang belum sejahtera. Pak Dul, ternyata sudah meng-amal-kan nilai 'Solidaritas' itu. Malah, ketika program itu belum dicanangkan. Selamat, profisiat buat Pak Dul. Sudah menemukan hidup-sejati.

Selamat ber-Solidaritas. Untuk menyusul Pak Dul.

Syalom. Wilujeng. Rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-

Kamis, Juni 18, 2009

Waras-wareg


http://www.bhinnekatunggalika.org/downloads/ts2-gusdur.jpg
Jalan antara Bumiayu - Purwokerto, melintasi daerah pegunungan. Maka naik-turun dan berkelak-kelok. Cukup berbahaya, jika pengendara kendaraan tak disiplin mentaati peraturan lalu-lintas. Suatu sore, peng-udud '76 naik mikro-bus dari Bumiayu ke Purwokerto. Di sore hari, banyak truk semen pada pulang menuju Cirebon. Sopir mikro-bus mengemudi dengan berhati-hati, tak ngebut. Meski demikian, ada juga peristiwa yang tak terduga. Di sebuah belokan, mikro bus dikagetkan oleh kemunculan sebuah truk semen, yang menyalib kendaraan lain di tikungan. Akibatnya, kedua sopir kaget, baik sopir mikro maupun sopir truk semen. Truk posisinya salah. Menyalib di tikungan, tak bebas pandang, dan yang jelas mangan dalan. Akibatnya, bis-mikro tak kebagian jalan, Terpaksa ngalah, turun ke badan jalan. Jika tak ngalah pasti tabrakan. Ketika kaget, si sopir sempat berteriak, 'Lhaaaaa, lhaaaa...., lha.......!'. Ternyata, tak hanya satu kendaraan truk-semen itu saja. Ada tiga mobil, yang sama-sama tak disiplin, menyalib di tikungan. Yang kedua, jenis avanza. Yang ketiga jenis Inova. Ketiganya, hampir berserempetan, bertabrakan. 'Lhaaaaa....., lha....., lhaaaa.....', Itu kata si sopir mikro, ber-ulang-ulang.

Mestinya dia benar. Berposisi di jalur kiri jalan. Tapi bagian itu diserobot kendaraan dari arah berlawanan. Akibatnya, 'Lhaaa...., lha.........., lha..........., hampir tabrakan. Lalu, dia meminggirkan kendaraannya di bagian jalan yang tak ber-aspal. Serta pula kemudian, menghentikan kendaraannya, dia sambil narik napas & berkata, 'Sing waras ngalah. Sing waras, ngalah..........!'

Dengan ber-ucap, dan meminggirkan kendaraan, ber-arti dia menerapkan sikapnya dalam perbuatan. Dia sudah benar, dia waras, namun mengalah. Demi sesuatu yang mulia. Yakni, tabrakan terhindari. Keadaan akan berbeda jika dia tetap tak mau ngalah. Posisi hukumnya sudah benar, berjalan di sisi kiri jalan. Namun toh, tetap tak kebagian jalan, karena diserobot orang. Orang yang tak patuh pada aturan. Tak disiplin pada undang-undang, demi kepentingan diri. Maka memang benarlah --kata slogan--, 'Kecelakaan, bermula dari pelanggaran'. Dan itu kerap terjadi.

Selama hidup di atas bumi, peng-udud '76 mengalami banyak kejadian. Juga ketika menapaki sesi hidup dalam lingkup per-imam & per-iman-an katolik. Kejadian yang banyak me-nyesak-kan, lebih pada jika menghadapi hal:
Ketika, apa yang mestinya benar, dikatakan, sebagai tidak benar.
Ketika sebuah kesetiaan bersifat injili & gerejawi, lalu dikatakan sebagai tak injili.
Ketika sebuah fakta A, lalu dikatakan sebagai non-A.
Dan ketika, ketika, ketika yang lain....nya.

Seorang rohaniwan amat senior, memberikan nasehatnya, dalam sebuah kalimat sederhana, 'Sing Waras Ngalah !'.
Nasehat itupun, ternyata cocok dengan yang diamalkan sopir mikro-bus trayek Bumiayu - Purwokerto, 'Sing Waras Ngalah !'.

Apakah aku, sudah ..............
Apakah kita, sudah ..............
Apakah anda, sdh (sing).............(ngalah).

Syalom. Wilujeng wengi. Rahayu-rahayu-rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-

Senin, Juni 15, 2009

Air meng-hidup-kan

Spring Bunny EcardSuatu sore, Chevrolet Luv melintas di Jl Gerilya timur. Model kendaraan ini, pick-up. Apa saja mudah dimuat, termasuk manusia. Ketika berhenti di lampu merah, tiga orang pengamen berpenampilan penyanyi rock, menyapa mau menumpang. Tentu saja gratis.

Ketika berangkat, chevrolet Luv membawa sangu. Sangunya, air dari bak mandi, dimasukkan ke botol aqua bekas satu-setengah lliteran. Air itu untuk cadangan radiator, jika sewaktu-waktu butuh tambahan. Botol aqua yang dipakai, putih-bening penampilannya. Tak kentara jika isinya air bak mandi. Mirip seperti air aqua sungguhan, yang baru dibeli dari toko.

Ketika berangkat dari garasi, telah dichek, air di botol aqua itu penuh. Karena juga ditambahi. Juga sudah diwolak-walik, untuk meyakinkan tak ada kebocoran. Air botolan itu ditaruh di bak belakang. Posisinya di pojok, dekat ban cadangan yang diikat dengan kunci kabel baja. Para pengamen menumpang, sampai perempatan Tanjung, jurusan ke arah Tegal. Syukur, ketika mereka turun di lampu merah, meng-ucap-kan kata terimakasih.

Tak jauh dari perempatan itu ada toko kelonthong. Pengemudi chev-Luv turun untuk beli udud '76. Sebelum meninggalkan kendaraan, ambil dulu ganjel kayu untuk ganjal roda, agar mobil tak nylonong sendiri. Ganjel-kayu tempatnya juga di bak belakang. Ketika ambil ganjel-kayu, pengemudi Chev-Luv kaget. Kagetnya, karena air dalam botol aqua tinggal seperempatnya. Dicoba chek lagi, diolak-alik, tetap tak ada kebocoran, baik di bagian tutup, maupun, sambungannya. Lalu kemana perginya air. Dipikir-pikir, diurut-urut, disimpulkan, air pergi pasti diminum oleh para pengamen yang numpang nunut tadi. Padahal, tahu sendiri, air itu air bak mandi, untuk cadangan radiator. Dus, para pengamen minum air radiator, tapi--serasa aqua. Enak. Tapi, ya, itu, enak ning kapusan.

Ada orang kecil, yang kerap ngapusi. Tapi,
Mudah pula mereka di-apusi. Dan,
Karena ke-kecil-annya, mudah pula mereka jadi 'kapus'-an.

Kapusan, memang tak enak.
Maka tak usah, apus-apusan.

Syalom. Wilujeng wengi. Rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-


Nb: Kapusan=tertipu

Minggu, Juni 14, 2009

dhor

Di sebuah koran terbitan Yogyakarta, yang peredarannya sampai daerah banyumas, ada artikel berjudul 'Jambret ngeyel, di-'dhor', modar'.

Modar, adalah sebuah kata. Kata itu merupakan rangkaian huruf. Huruf adalah simbol-simbol yang disepakati antar manusia untuk berkomunikasi. Sebagai simbol, sebuah kata meng-ungkapkan fakta di belakangnya. Fakta yang di ungkapkan oleh kata 'modar', adalah realita. Yakni realita kematian.

Isi dari peristiwa kematian adalah sama, yakni terlepasnya jiwa dengan raga. Berangkat dari intensi, kata yang dipakai bisa berbeda-beda. Ada kata, mati. Ada pula kata yang lain: meninggal, wafat, mangkat, tewas, dipanggil Tuhan.

Kecuali, dipakai sebagai pengungkap fakta, kata-kata yang berkaitan dengan peristiwa kematian, kerap pula dipakai sebagai kata 'cercaan', 'umpatan', 'mujek-mujekke'. Tentu saja, konotasi-nya negatif. Dalam hidup harian, kerap terdengar frase 'mati luuu.....!', 'modar ! Kapokmu kapan !'. Juga, kadang kata itu dipakai sebagai ungkapan 'kekesalan'. Orang kesal terhadap sebuah peristiwa yang terjadi di hadapannya, maka lalu ber-ujar 'modarrrrrrr...!'.

Seorang remaja, naik motor kencang sekali. Motor baru dibeli satu bulan yang lalu. Jalan yang dilalui memang memungkinkan untuk itu. Membujur tepian Sungai Serayu, antara Banyumas - Patikraja. Sayang jalan yang lurus halus itu tak lebar. Sempit adanya. Si remaja rumahnya di kawasan Kaliori. Cepat, atau malah bisa dikatakan ngebut siang itu. Menyalib kendaraan-kendaraan yang jalan langsam. Mungkin remaja Kaliori tak perhatikan etika berkendaraan. Di sebuah jalan sempit tetap nekat cepat, menyalib kendaraan roda empat. Pas di tikungan, muncul sebuah truk pasir kosongan. Tak ayal, perhitungan yang tak tepat, menjadikan si remaja men-tabrak truk kosongan tsb. Ini gara-gara si remaja mangan dalan, alias melintasi jalan di bagian kanan yang sebenarnya hak pemakai jalan dari arah berlawanan. Padahal, sudah ada garis putih, sebagai penuntun, para pemakai jalan dari dua arah. Agar tak saling tabrak. Braaaakkkk !...... Si remaja jatuh terpental di jalan aspal. Truk yang tak bersalah, agak ragu, mau berhenti. Namun akhirnya meninggalkan si korban. Barangkali, takut nanti disalahkan. Padahal, posisinya ada dalam jalan aturan kebenaran.

Akhirnya, si remaja tewas seketika. Si truk pasir, juga tak berhenti, entah lalu ke mana perginya. Beberapa orang sempat melihat dan menyaksikan peristiwa itu secara tak sengaja. Malah ketika si remaja bermotor cepat tengah meliuk-liuk menyalib kendaraan lain, ada orang yang ber-ujar, 'Modar...., modar...., kiye bocah......!'.

Lalu yang berwajib, petugas datang meng-urus peristiwa tabrakan yang memakan korban. Dicari dan ditanyai saksi-saksi. Siapa yang melihat dan tahu truk yang sudah pergi. Ketika disodorkan pertanyaan-pertanyaan, orang yang melihat, dan sebenarnya bisa dijadikan saksi, mengatakan, 'Tak tahu'. Jawabannya 'tak tahu', padahal sebenarnya tahu. Alasannya, agar yang tak salah biarlah selamat. Maklum juga pengemudi, orang asli tak jauh dari te-ka-pe. Kasihan, jika harus menanggung semuanya itu. Apalagi dia tak salah. Dus, masa tak peduli dengan dengan orang yang nekat, melanggar aturan dengan tanpa hati. Si penekat, tak dapat simpati, namun malah dipuja-pujakan agar lekas mati.

Taat aturan, me-muncul-kan simpati. Tak taat aturan, memunculkan.......

Syalom. Wilujeng ndalu. Rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-

Rabu, Juni 10, 2009

Trade Mark

Trade Mark, bisa diartikan 'Merek dagang'. Kenapa harus ada merek. Untuk identitas, ciri khas. Kenapa harus diberi identitas khas. Karena ada nilai. Nilai komoditas. Komoditas adalah bahan, yang bisa diperjual-belikan. Jadilah komoditas dagang, atau komoditas ekonomi. Yang namanya komoditas, bisa berupa barang, bisa berupa jasa. Malah bisa pula berupa sistem. Sistem nilai.

Pada sebuah petang, Kijang dinas meluncur pulang dari pelayanan sebuah stasi. Mampir di sebuah tempat, penjual tahu kupat. Tahu-kupat, adalah tahu yang diberi kupat. Bukan kupat diberi tahu. Itulah menu khas, dagangan sebuah warung UKM.

Sebagai sapaan sosialitas dengan masyarakat kebanyakan, belilah seporsi tahu-kupat. Pasangannya, Es-teh. Nyaman, sebagai bahan wedangan. Pembeli tahu kupat, petang itu cukup banyak. Maka harus antre. Sambil, antri tersaksikanlah, toko di mana emperannya untuk jualan tahu-kupat, sedang punya hajatan. Hajatannya, bukan supitan atau pengantenan, melainkan tasyakuran. Istilah mudahnya syukuran. Yang punya hajat syukuran adalah pemilik toko. Seorang ibu. Malam itu didoakan oleh warga sekitarnya, agar perjalanan-naik hajinya selamat, lancar tak kurang suatu apa. Si pemilik toko memang esok harinya akan diantar ke bandara Adisumarmo Solo, untuk berangkat naik Haji.

Acara syukuran tak sekedar doa semata, melainkan juga dilengkapi dengan menu makanan. Sesudah doa--darasan ayat-ayat al-quran--, dilanjutkan dengan makan. Semua pendoa disuguh soto model Sokaraja. Tak ketinggalan, pedagang-pedagang sekitar emperan tokopun, ketiban rezeki, diberi seporsi soto model sokarajanan. Pengusaha UKM tahu kupat, juga kebagian. Tapi tak sempat makan, karena saking sibuknya melayani pembeli. Berhubung sudah agak kenal, maka soto-sokarajanan ditawarkan. Tentu juga tak bayar. Kesempatan bagus tak disia-siakan, soto tawaran, buah syukuranpun diterima tangan, lalu dinikmati dengan enthing-gembira. Maklum tak harus bayar. Jadilah, makan soto-sokaraja, di warung tahu kupat. Gratis lagi.

Namun sebenarnya itu semua tak terlalu penting. Yang lebih penting adalah, sesudah makan. Di sebelah tempat duduk hadir seorang tukang ojeg. Orang lokal yang sedang cari penumpang, buat tambahan nafkah harian. Dengan kesungguhan, tanya pada tukang ojeg, tentang kegiatan naik haji, sebagai keutamaan-keagamaan.
+ 'Pak orang naik haji, katanya dijamin masuk sorga. Apa betul.........?'
- Si Bapak tukang ojeg tak segera jawab, malah ketawa terbahak-bahak.
Namun akhirnya jawab juga, 'Niku to Merek-e. Angger tiyang gadhah dhuwit ta, saged tuku merek. Ning mlebu sorga ta boten ditentokke dening merek. Sing nentokke ta uwonge. Angger kelakuanne sae ta mesti mlebet sorga. Arepa mereke dobel, ning angger uripe ora pener ta, ya mbotene mlebu sorga.....!'.

Bagi seorang tukang ojeg, sebuah titel ke-agamaan--sesudah ziarah ke tanah suci--, dikatakan sebagai merek(Mark). Siapa punya uang, bisa dapat merek itu. Tapi, urusan masuk sorga, tak otomatis ditentukan oleh merek. Yang menentukan sorga, adalah kelakuan. Tak sembarang kelakuan, namun kelakuan sing pener.

Hidup pener, adalah jalan menuju Allah. Bukan 'merek'-nya.
Terimakasih Pak Tukang Ojeg, atas teologi-mu.

Syalom. Wilujeng wengi. Rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-


NB: UKM=Usaha Kecil Menengah

Sabtu, Juni 06, 2009

Allah Orang Katolik

Di sebuah stasi, bagian dari Bumiayu, terjadi sebuah diskusi dlm sebuah pendalaman iman-keagamaan. Tema diskusi berangkat dari pengalaman umat. Ada umat yang pernah mendapat pertanyaan kritis dari kawannya: Bagaimana bisa dijelaskan, katanya Tuhan orang katolik itu tiga. Malah bisa punya anak lagi ?.

Atas persoalan itu, ada anggota umat lain yang mengutarakan pemahamannya: Tuhan-Allah, bagi orang katolik, bisa digambarkan seperti posisi, atau status seorang pria yang sebagai guru, sekaligus sebagai bapak keluarga, sekaligus sebagai ketua RT. Sebut saja seorang pria itu 'Amir'. Pak Amir, jika di sekolah disebut Pak Guru, karena memang status dan profesinya demikian. Jika di rumah, Pak Amir disebut dengan Pak, bapak, ramak, bapake, kaki, karena dia punya istri dan punya anak dua. Status dan kedudukannya, memang sebagai kepala rumahtangga, dan juga bapak biologis dari anak-anaknya. Kebetulan, Pak Amir juga menjabat sebagai ketua RT. Maka, di masyarakatpun, dia juga disebut Pak RT, oleh warga setempat.

Tuhan Allah orang katolik, kurang lebih bisa digambarkan demikian. Meski penggambaran itu tidak tepat benar. Allah pencipta yang di Sorga, dialami umat katolik, sebagai bapak yang amat baik bagi anak-anaknya, maka disebut dengan Bapa.

Allah pencipta itu, mengasihi manusia, maka Ia, turun menjadi manusia, mengosongkan hakekat keallahannnya, menjelma menjadi manusia. Jelmaan Allah itu, dikenal oleh orang katolik, sebagai Yesus. Yesus difahami sebagai sungguh allah, sungguh manusia. Manusia inkarnasi. In=masuk. Carnum=daging. Inkarnasi=masuk menjadi daging. Alias, Sabda telah menjadi manusia. Manjalma, dari kata manjing & jalma. Maksudnya, 'manjing ing jalma',.

Manusia Yesus, sudah bangkit ke sorga. Lalu Disebut Tuhan Yesus Kristus. Namun ia tetap menuntun umatnya, dengan Roh-nya. Tuntunan itu dikenal sebagai Roh-kudus. Roh Kudus tak lain adalah Roh Allah, sendiri, yang adalah juga Roh Yesus.

Dus maka betul, jika disebut, 'Satu Allah, tiga pribadi'. Allah yang dialami sebagai di sorga, disebut Bapa. Allah yang menjadi manusia, disebut Yesus Kristus atau Putera. Allah yang terus mendampingi umatnya sampai kini disebut Roh Kudus.

Tak ada yang salah dengan Allah Tri Tunggal.

Syalom. Wilujeng. Rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-

Selasa, Juni 02, 2009

Agama Yang Paling Kenceng

Di dunia, ada banyak agama. Di Indonesia, ada lima agama besar, diakui sebagai agama resmi-pemerintah. Di era reformasi, dua agama muncul-mengemuka, yakni, Khong Hu Chu dan Aliran kepercayaan. Inilah warna-warni religi, yang menjadi spiritualitas rakyat Indonesia.

Masing-masing agama mempunyai titik-titik ke-khas-san-nya. Ke-khas-an inilah yang menjadi daya tarik bagi orang yang melihatnya. Dan lalu, ada yang kemudian memberanikan diri menjadi pemeluknya. Atau sekurang-kurangnya, lalu menjadi hormat terhadap ajaran sebuah agama.

Nilai khas dalam ajaran Katolik, antara lain tentang perkawinan. Perkawinan katolik, adalah sakramen. Artinya, tanda & sarana Allah menyelamatkan manusia. Dalam pernikahan model sakramen, yang terlibat tidak hanya dua pihak, melainkan tiga pihak. Pertama, pria. Kedua, wanita. Ketiga Tuhan Allah. 'Tuhan-Allah'-lah yang menyatukan pria & wanita, menjadi satu, sebagai suami-istri. Kitab Suci Katolik menyatakan, 'Apa yang disatukan Allah, tak boleh diceraikan manusia'. Inilah salah satu ajaran katolik, yang levelnya berbobot sebagai dogma.

Berangkat dari ajaran inilah, mengalir ketentuan dalam Gereja Katolik, bahwa perkawinan bersifat monogam & tak terceraikan. Monogam berbeda dengan setereogam. Stereo--biasa dipakai dalam tata suara audio--berarti bercabang dua. Terpisah. Mono, berarti satu. Tak ada cabang. Tak mendua. Perkawinan katolik, bersifat mono. Monogami. Bukan poligami.

Dan juga tak terceraikan, karena pernikahan adalah penyelenggaraan ilahi. Allah sendiri terlibat di dalamnya. Karena keterlibatan Allah inilah, maka tak dikenal yang namanya 'perceraian'. Inilah segi minus, namun lalu jadi nilai plus perkawinan katolik.

Di sebelah selatan Kota Slawi, terdapat sebuah warung makan. Truk-truk 'SJ' dari Magelang, biasa transit di warung ini. Para crew, sopir-kernet pada istirahat, makan-minum, mck. Relasi para crew dengan pemilik warung, sudah seperti keluarga. Pemiliknya, adalah seorang Ibut tua. Dia mengelola warung makan, dibantu oleh dua menantunya. Dua cucu, juga meramaikan suasana warung makan sederhana itu.

Suatu kesempatan, salah seorang menantu cerita tentang salahsatu crew mobil truk, yang agak lama tak kelihatan. Sebut saja namanya 'Si-Dul'. Didiskusikan oleh mereka bertiga, bahwa perkawinan Si-Dul, tak lancar. Tak lancarnya, karena beda agama. Ternyata pula, calon mempelai pria berstatus sebagai duda. Kebetulan agamanya kristen-protestan. Si-Dul, sudah cerai, dan mau menikah lagi.

Menantu pertama, mengatakan bahwa pernikahan 'Si-Dul', tak bisa dilangsungkan. Alasannya, agama kristen tak membolehkan 'cerai'.
Menantu kedua, menimpali, bahwa pernikahan 'Si-Dul', bisa dilangsungkan, karena sudah ditentukan tempat dan waktunya.
Diceritakan, orangtua si Dul, penganut muslim, maka tak mempersoalkannya. Agama orangtuanya membolehkan perceraian Si-Dul dengan istri pertama.
Diskusi bertemakan 'pernikahan' ramai. Masing-masing menurut argumennya.

Di tengah-tengah diskusi, Si Ibu tua, mengutarakan pengertiannya, 'Kanggone Islam ta, cerai entuk-entuk baen. Kanggone Kristen ta, jere cerai ya bisa. Sak ngertine inyong, sing paling
kenceng kuwi Katolik. Ora bisa pegatan. Nganti mati pisan..!'

Gema kekatolikan, terdengar di sebuah warung makan kecil, pinggir jalan. Menjadi sebuah pengertian: 'Sing paling kenceng kuwi katolik'. Tentu dalam hal perkawinan. Yakni bersifat monogam & tak terceraikan. Inilah ketatnya agama katolik dalam hal moral. Moral perkawinan. Yang menjadi keunggulannya. Keunggulan ajaran tentunya.

Selamat menghayati ajaran perkawinan, yang 'monogam & tak terceraikan'.

Syalom. Wilujeng wengi. Rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-