Kamis, Januari 08, 2009

Ipuk Kejora

Di SMK, tepatnya SMEA Sumpiuh ada seorang siswi bernama 'Ipuk Kejora'. Agak asing nama ini dipakai untuk menamai seorang gadis. Gadis keturunan Jawa lagi. Kejora, biasanya dipakai untuk menyebut bintang. Bintang Kejora. Waktu operasi militer di Irian Barat, dipakai nama sandi Operasi Bintang Kejora.

Namun ternyata, setelah ditelusur-telusur, maknanya sungguh dalam di belakang frase, rangkaian kata, 'Ipuk Kejora'. Ibunya, seorang gadis gunung. Tinggi semampai. Anak seorang petani ladang pegunungan, yang levelnya dalam margin garis kemiskinan. Karena menariknya, seorang pemuda desa, mengejar dan lalu menyuntingnya sebagai istri setia. Tapi itu bukannya tanpa perjuangan. Or-tu si pemuda-desa sebenarnya tak setuju. Setujunya, jika pemuda-desa dapat anak orang kaya.

Tapi karena sudah tambatan hati, nekatlah si pemuda desa. Akibatnya, si gadis menantu tak boleh tinggal di desa. Harus hidup mandiri. Maka kembalilah ke gunung lagi.

Si pemuda desa, bekerja mencari nafkah. Profesinya sebagai sopir truk kobis, antar kota. Maka pulang ke rumah istrinya hanya sekali-sekali saja.

Berhubung sudah ber-keluarga, si gadis gunung harus berpisah rumah dengan orangtuanya. Dibuatkanlah dia sebuah rumah, di samping or-tu-nya. Tapi itu tak otomatis gratis. Yang terbuat, barulah rumah rangka kayu. Atapnya, rumbai. Itu saja baru separo. Karena si suami kerap pergi, si gadis meskipun sedang hamil, berusaha menyelesaikan atap rumahnya. Dia membuat dan lalu memasang atap rumah dari daun rumbai. Naik turun tangga-pun dilakoninya. Kendati dia seorang wanita. Sendirian. Swadaya.

Jika malam, sendirian dia merenung. Sepi, tak ada kawan. Suami pergi. Hanya ada suara jangkerik. Diterangi lampu teplok. Di bawah atap rumah rumbai, setiap kali dia mengelus-elus perutnya yang sedang membuncit, berisi jabang bayi. Sambil merasa-rasakan nasib, juga membayang-bayangkan situasi dirinya. Yang sudah-sudah. Juga yang belum-belum. Jika suaminya pulang, perut itu 'di-ipuk-ipuk' oleh suaminya. Tapi sesudah itu, 'di-jor-na'. Tak hanya sekali. Tapi ber-ulang kali. Setiap kali suami pulang, 'di-ipuk-ipuk'. Habis itu, 'di-jor-na'. Begitu dan begitu. Sampai si jabang bayi lahir.

Maka, atas dasar pengalaman, diipuk-ipuk, dan lalu dijorna itu, ketika si bayi lahir, si ibu memberi nama indah padanya: 'Ipuk Kejora'. Dari kata, diipuk-ipuk dan dijorna.

Kini si jabang bayi, sudah jadi remaja. Remaja seusia klas tiga SMEA. Di Sumpiuh, tepatnya. Tabiat & perilaku si remaja ternyata tak jauh dari watak ibunya. Jadi peka terhadap derita teman. Dan pula menghargai jerih payah orang tua. Tanpa diketahui oleh ibunya, tiap diberi uang saku, sebagian ditabungnya. Dan ketika, ibunya kebingungan mau ambil ijazah, yang harus disertai dengan lembaran-lembaran puluhan ribu, tiba-tiba si anak remaja, -Ipuk Kejora- menyerahkan segepok lembaran uang. Dan itu hasil dari tabungannya.

Simpati untuk Ibu yang pernah menderita. Dan selamat untuk 'Ipuk Kejora', atas watak & tabiatmu.

Syalom. Wilujeng wengi. Rahayu.

Wasalam:
-agt agung pypm-

www.lelakuku.blogspot.com

Tidak ada komentar: