Jumat, Januari 02, 2009

Balada seorang penjual nasi goreng

Nasi goreng. Nasi yang digoreng. Jika bumbu tepat, enak rasanya. Nasi biasa, jadi istimewa. Penjual nasi goreng, adalah yang pintar meramu, dari yang biasa menjadi istimewa.

Ber-profesi sbg penjual nasi goreng-pun, ternyata tak sekali jadi. Butuh jam terbang. Butuh pengalaman. Di kawasan Purwokerto, Cilacap, penjual nasi goreng banyak yang berasal dari daerah selatan Slawi. Juga Margasari. Berbondong-bondong mereka pergi, untuk meng-komoditas-kan nasi. Menjadi komoditas ekonomi. Untuk hidup, untuk menafkahi anak-istri.

Seorang penjual nasi goreng, asli perbatasan Jateng-jabar. Daerah ber-gunung-gunung. Bapak sunda. Ibu, jawa-Tegal-an. Margasari, persisnya. Kadang ngetem di sebuah tempat, di pinggiran jalan Purwokerto. Kadang pula keliling, menyusuri jalan-jalan, menunggu si pemanggil. Memanggil pesanan nasi goreng. Banyak asam garam, sebagai peramu makanan pernah dialaminya.

Tiga tahun pertama, keliling daerah Cimande, Sukabumi. Tiap pagi keliling kampung, menjajakan bubur ayam. Bubur pagi, bisa menafkahi hidup harian. Agak kecewa, karena dulu tak sekalian belajar Silat Cimande. Memilih pindah dari Cimande, karena harus setiap kali di taksir seorang pemudi. Minta dinikahi.

Berkelana ke daerah Wangon, Banyumas. Merintis usaha, bakso goreng keliling. Bakso yang digoreng, lalu dijual keliling. Menginap model 'indekos' di sebuah rumah milik seorang preman. Si preman, jarang di rumah. Kerjanya, meng-kompas kapal yang hendak merapat di Cilacap. Istrinya, jadi TKI di Negeri Jiran. Ada efek bagus. Rumah yang dulu tiap kali jadi tempat mabuk-mabukan, jadi tempat kos-kosan. Sayang, prospek bakso goreng tak cerah. Mungkin masih produk baru.

Ganti lokasi. Dari kawasan Banyumas, ke Banjarnegara. Dicobanya pula jualan bakso goreng. Lahan pasaran di sekitar alun-alun Banjarnegara. Kuat tiga bulan. Memilih pergi, karena grafik penjualan statis. Namun yang lebih urgen, anak si pemilik rumah kontrakan, sekali lagi minta dijadikan istri.

Akhirnya, sampailah ke kota Satria. Purwokerto. Dari bubur ayam, bakso goreng, berganti ke menu 'Nasi goreng'.
'Nasi-goreng, nasi goreng. Theng....theng....theng......
'
Bareng mertua, tiap sore hingga dini hari, dua gerobak nasi goreng digelindingkannya. Menyusuri jalan-jalan kampung & kota.

Dari gerobak nasi goreng, anaknya bisa sekolah. Kini klas satu SD. Nafkah keluarga, juga jalan, meski kadang lancar, kadang agak seret.
Malam tahun baru, 5 kg nasi berhasil dijualnya, sebagai nasi goreng. Tapi jika hari hujan, ndomblong dua jam-pun hanya ada pembeli 4 piring.

Sebagai pemain komoditas nasi goreng, ia ingin maju. Maka di-iya-ni pula, ketika sang pemilik rumah kontrakan mengajak ke seorang 'pembantu-pelancar-rezeki'. Diminumnya, formula pelancar rezeki. Tiap malam kertas bertuliskan huruf arab dibakarnya. Dan lalu diminumnya, menghadap ke barat.

Tapi apa makna. Apa realita. Sebulan, dua bulan grafik penjualan nasi goreng tetap tak kacek, alias tak tambah laris. Maka akhir cerita, kapoklah dia minum formula pelancar rezeki. Tak mau lagi diajak ke 'pembantu pelancar rezeki'.

Kini, si peramu nasi goreng tetap menjual nasi goreng. Yang dia andalkan tak yang lain-tak yang lain, melainkan Tuhan yang maha Kuasa.
'Rezeki itu sudah ada yang ngatur...!', katanya.
Keseriuasan & ketekunan ber-usaha, itu yang kini dipegang. Tak lupa pula dengan berdoa. Serta hati yang bersih di hadapan Tuhan-nya. Maka, ketika kawan-kawan-nya dapat duit. Dan lalu ber-foya-foya dengan minum & wanita. Dia milih tak ikut, demi tanggung-jawabnya. Tanggung-jawab pada anak-istri di rumah, dan pada Tuhan-nya.

Kebetulan, Minggu 4 Januari '09 adalah Hari Raya Penampakan Tuhan. Bayi Yesus, dikunjungi oleh tiga Sarjana dari Timur. Bukan orang biasa, melainkan sarjana. Sarjana, adalah orang yang terbuka atas ilmu. Kecuali ilmu, juga info-info terbaru. Sikapnya ditentukan oleh ke-ilmuannya. Ilmu perbintangan. Ilmu kebijaksanaan. Maka perilakunyapun jadi bijak. Tuntunan malaikat diikutinya. Bisikan suara hati diperhatikannya. Dan lalu, profokasi raja Herodespun, ditinggalkannya. Sarjana, sikapnya bijaksana. Tahu, mana yang boleh, dan mana yang tak boleh. Mana yang baik, dan mana yang buruk. Mana yang sebaiknya dilakukan, dan mana yang tak seharusnya dilaksanakan. Yang baik dipilihnya, dilakukannya.

Selamat berjuang penjual nasi goreng. Selamat atas sikapmu yang bijak.
Bisa memilih, mana yang baik, mana yang buruk.
Selamat atas kezolehan hatimu.

Syalom. Wilujeng ndalu. Rahayu.

Wasalam:
-agt agung pypm-

Tidak ada komentar: