Kamis, Desember 25, 2008

Gigi & Damai( Edisi Rev )

Ada seorang wanita, sebut saja Tante Muria, istri seorang juragan Batik. Suaminya hidup dalam kondisi tidak lurus. Harta-mereka hampir ludes karena kebiasaan suaminya. Ya. Suaminya seneng taruhan sepak-bola.

Tante Muria ber-usaha semaksimal mungkin meluruskan hidup suaminya. Dalam upaya-nya menarik lurus kembali suaminya, yang jatuh mendem taruhan judi sepakbola, Tante Muria sempat stress berkepanjangan.

Dalam masa stress, aneka macam perasaan berkecamuk, sedih, mangkel, anyel, dhendam, bingung, putus-asa, dsb. Tak urung juga Tante Muria sempat gelap mata. Nekat.


Muncul dalam dirinya prinsip kuat. Prinsip kuat itu, berupa sikap. Sikapnya, begini: 'Jika suaminya menghabiskan harta dengan taruhan-judi sepakbola—( yang berarti itu tindakan negative) , Dia juga tak mau kalah, akan menghabiskan hartanya untuk yang non-judi( yakni kebaikan--yang penting ada artinya utk orang-lain ). Dus, menurutnya, positif.

Memang sungguh terjadi, dia jadi loma, murah-hati, banyak menyumbang untuk orang-orang tak mampu. Hasil produk batiknya, a.l. berupa stola, kasula bermotif batik, dia berikan pada pastor-pastor kenalannya. Juga souvenir-souvenir batik yang lain, yang mestinya adalah barang dagangan, dijualnya dengan harga amat miring. Atau kadang, diberikannya begitu saja pada siapa saja yang mau. Padahal, satu set stola-kasula, tak kurang harganya 500 ribu. Itu diberikannya, secara gratis, tis, tis alias tak bayar.


Tapi ya, itu, bener ning ora pener. Manfaat tapi tak tepat. Akhirnya, harta-asetnya- pun makin lama makin habis. Keluarga jadi k-a-c-a-u--- b-a-l-a-u. Keluarga hancur, tergerogoti dari dua pihak, pihak suami maupun pihak istri.

Padha akir babak, keluarga itu memang kacau, dan hancur. Mengapa itu terjadi, bisa ditebak. Tak lain dan tak bukan, karena si suami bersikap dan bertindak sak-geleme dhewe. Cari untung ning ora petung. Si istri juga lalu nekad, berbuat kebaikan bermodalkan dhen-dham. Tidak berdasaarkan cinta-kasih. Maka ter-amal-kanlah hukum lama: Mata ganti mata, Gigi ganti gigi. Out-put-nya, remuk kabeh.

Di kawasan sebuah provinsi, ada tradisi Carok. Sebuah kebiasaan, jika terjadi perseteruan, entah antar keluarga, entah antar kelompok, jika ada korban nyawa melayang di salah satu pihak, pihak yang lain juga harus kehilangan nyawa dalam jumlah yang sama. Nyawa 3, dibalas 3. Nyawa 7, dibalas nyawa 7. Dst.


Di kawasan, kota Cilacap ada seorang pria, asli sebuah provinsi di pulau seberang, sesudah keluar dari LP Nusakambangan, tak mau kembali ke tempat asal.Ketika ditanya, kenapa tak kembali ke tempat asal, Alasannya, jika pulang, dia tetap akan dihabisi oleh pihak 'lawan' yang pernah dibunuhnya. Di beberapa daerah lain, kebiasaan inipun juga masih terjadi, “Dhendam-dibalas dengan dhendham”.

BTW, Mata ganti mata, Gigi ganti gigi adalah hukum Perjanjian Lama.Tidak men-damaikan, tidak ada persaudaraan. Hukum itu bersifat destruktif, merusak. Supaya tidak semakin rusak, hadirlah Yesus Kristus, membawa hukum baru: Hukum k-a-s-i-h.


Hukum baru itu bersifat konstruktif . Alias bersifat membangun. Hukum baru itu adalah: “Cintailah sesamamu. Cintailah musuh-musuhmu. !” Demikian, pesan Kitab-Suci.

Itu ber-arti, pesan moralnya pada kita:

1. bangunlah kedamaian,

2. saling meng-ampunilah.

3. Bangunlah persaudaraan.

Persaudaraan yang sejati. Tentunya.

Lihat..., Spanduk di depan sana !: ‘Hiduplah dalam perdamaian, dengan semua orang !.’

Syalom. Wilujeng ndalu. Rahayu-rahayu- rahayu.


Wasalam:
-agt agung pypm-
www.lelakuku.blogspot.com

Atau lihat Website Paroki.

Tidak ada komentar: