Syalom. Sugeng ndalu. Rahayu-rahayu-rahayu.
Sebagaimana telah saya sampaikan pada sharing-sharing saya terdahulu, tiap kali habis misa atau kegiatan kegerejaan, kerap saya mampir warung kopi, entah besar-entah kecil. Untuk srawung berbagai orang. Maksudnya, juga nyerap aspirasi persoalan masyarakat umum.
Di Sampang, perbatasan Kab. Cilacap & Kab. Banyumas, ada sebuah warung, kepunyaan Pak Kyai. Makanan-makanan di situ cukup enak, karena bakarnya pakai kayu, tidak LPG, tidak minyak tanah.
Pada kedatangan pertama kali, tak ada dialog yang berarti. Saya minum es-teh, pisang goreng 2 stel. Sambil lihat-lihat suasana dan macam orang, masyarakat di sekitarnya. Pendek kata, saya banyak diam. Penjualnya juga menegur, menyapa seperlunya.
Pada kedatangan kedua, sang penjual, yang ternyata adalah istrinya Pak Kyai, mulai menyapa saya, "Om, sampeyan dari mana ?" Mungkin, karena penampilan saya mirip sales, dan di warung ketika itu banyak pembeli yang penampilannya memang salesman, dia juga tanya pada saya, "Klilingan !, jualan apa om..?" Nampaknya kalimat itu kerap dia tujukan pada para pembeli di warungnya. Maklum warung para salesman & salesmawati. Warung itu cukup ramai. Berbagai pembeli pada berdatangan, terutama saat-saat seputar jam makan. Ada petani, ada sopir box, ada sopir truk, PNSipil, PNSwasta, aparat, maklar montor, blantik sapi, bakul jamu, grosir kangkung, broker TKI. Guru olah raga, dsb-dsb. Ada pula orang kebanyakan, yang tak tahu apa profesinya. Tetapi mayoriatas memang para sales.
Pada kedatangan ketiga di warung itu, Ibu Kyai sudah mulai keliatan luwes. Nampaknya, aura sosialitasnya terhadap saya mulai terbuka. Ada cerita sana-sini tentang perkembangan warung itu, shg sekarang bisa tetap survive, tidak bangkrut seperti warung lainnya. Siang itu jarum jam menunjuk angka sekitar 12.00 lebih sedikit. Betul, pembeli semakin banyak berdatangan. Rata-rata mereka makan seperlunya. Selesai lalu bayar, terus pergi. Satu-dua orang agak lama duduk bicara ini-itu. Dari soal kenaikan harga-harga sampai hal Ipoleksosbudhankam. Siang itu agak lama saya duduk di warung, krn memang motifnya mau dengar dan serap persoalan dan aspirasi masyarakat banyak.
Pada akhirnya, tinggal saya sendiri. Pembeli lain sudah habis. Sayapun lalu mau bayar minuman dan peyek udang yg sudah saya makan. Sembari mau pamit meneruskan pejalanan. Pas ketika selesai bayar, Bu Kyai itu tanya saya, "Om sampeyan sakniki kerep mriki, sing ditaksir niku sinten....?!" Saya punya kenalan janda lho...! Sugih maning..!". "Gandrik, mendelik, tak berkutik. Pet-prepet...... pikiran saya. Nyuwun sewu Pengeran.....!" Sebuah kalimat terdengar, yang tak pernah terbayangkan oleh saya.
Saya berkunjung di warung itu, yang ada di kepala itu, konsep mulia: Bgmna menegakkan Kerajaan Allah, Konsep pastoral pedesaan: bagaimana berelasi dengan orang-orang desa sehingga kesaksian injil bisa sampai orang-orang desa. Konsep Dialog Agama> dialog bisa dilakukan lewat dialog formal maupun tidak formal, dalam kehidupan sehari-hari, Lha kok feed-back sosiologisnya, mung mak plenik: "Om, sampeyan mriki sing ditaksir niku sinten...!?"
Menyusun konsep teologi, eklesiologi mungkin tidak terlalu sulit. Menjadi konseptor, barangkali juga tidak terlalu banyak pusing. Namun praksis, kadang-kadang bicara lain: "Om sing ditaksir sintennnn....?! Mak plenik.
Wasalam:
- agt. agung pr. -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar