Minggu 16 Juli 2006, saya seharian melakukan pelayanan ke Stasi Karang-anyar dan Bugel. Dua buah stasi berposisi antara Pulau Jawa dan Pulau Nusakambangan. Sebagaimana biasa, sebelum dan sesudah Ekaristi, saya gunakan untuk mendengarkan berbagai persoalan umat. Dari soal ekonomi, politik pedesaan, sampai soal lingkungan hidup-- nota bene soal Segara Anakan yang kian menyempit, mau habis jadi daratan.
Segara anakan mengalami pendangkalan terus, tak lama akan jadi daratan. Belum lama di segara itu, selama 3 jam saya pernah terkatung-katung karena perahu kandas, saking cetheknya laut. Saat itu sedang terjadi polemik, tentang rencana penyodetan Sungai Citandui. Pro dan kontra. Umat katolik-pun jadi ikut terpecah.
Masalahnya, sekitar 12 sungai, besar kecil antara wangon - Sidareja-Kalipucang, semua menyatu masuk sungai Citandui. Akibatnya, muara sungai Citandui, Plawangan terus mendangkal dan menyempit. Dan karena penyempitan muara sungai itu, Kabupaten Cilacap bagian barat selalu terendam banjir jika terjadi hujan. Sekalipun hujan itu tak lama, atau kecil saja. Karena air dari dari 12 sungai itu tak bisa segera terbuang ke laut.
Ketika Pemerintah pusat ber-rencana melakukan penyodetan guna, pertama, menyelamatkan Segara Anakan. Kedua, agar Kabupaten Cilacap bagian barat tak selalu terendam banjir. Warga sekitar pangandaran menentangnya. Alasannya, sektor wisata Pangandaran & perikanan terancam. Tokoh kontra adalah pengusaha ikan Pangandaran, asli Temanggung. Karena modal-kuatnya, masyarakat pangandaran dan sebagian Kampung laut diajak menentangnya. Tak pelak, umat saya banyak juga yang ber-pro ke sana. Bahkan pada suatu Ekaristi, banyak yang tak datang, karena pada diajak demonstrasi ke DPR Jkt. Sebagian di-naik-kan bis. Sebagian --yang tokoh-tokoh-- dinaikkan pesawat. Pulang mereka masih di-sangoni Rp 50 ribu.
Selesai misa di Bugel, sambil pulang naik Trail, saya tercenung: 'Ketika banjir melanda Kab. Cilacap bag. barat, banyak pihak pada menolong, termasuk Gereja Katolik. Tetapi selama air di muara Citandui itu njendel, karena pengendapan lumpur, dan tak ada jalan air untuk lancar ke laut lepas, di kawasan Plawangan, selama itu pula genangan banjir akan terus terjadi. Satu-satunya solusi adalah pembuatan kanal baru, alias penyodetan. Proses AMDAL sebenarnya sudah dilakukan oleh UGM dan salah satu Universitas terkenal Bandung. Minus-malum pemecahan yang terbaik adalah penyodetan. Namun apa daya, kalah dengan masyarakat yang terprovokasi. Akhirnya, umat saya sebenarnya, lalu malah bunuh diri sendiri. Dus akar masalah sebenarnya lalu tak terpecahkan.
Sambil ber-trail pelan, hati saya mangkel. Mangkel sama keadaan. Dan juga menggugat, 'Kalau begini apa artinya, Gereja katolik juga bersusah-payah ikut membantu korban banjir'. Dan ketika hati ber-rasa tak enak, saya bicara dengan diri saya sendiri berwarna umpatan,'Biar kalau tak untung, Pangandaran itu bisa kena Tsunami seperti Aceh.....'
Sore, saya beli pecel lele lamongan, terus tidur karena capek. Hari-nya adalah Minggu 16 Juli 2006. Esok paginya, senin 17 Juli, saya ber-aktivitas spt biasa di pastoran Cilacap, buat catatan mingguan. Tak ter-nyana, sekitar pukul 15.25 terdengar berita dari TV NHK Jepang, bahwa pukul 15.19 baru saja terjadi gelombang Tsunami di Pantai Pangandaran. Ratusan orang dikabarkan hilang. Situasi tak keruan.
Mendengar berita itu, hati saya menjerit, 'Tuuuuuhaaaaaaannnnn.... apa artinya ini...?!' Lama saya terdiam. Cukup lama. Melayang ingatan ke umpatan kemaren sore: "Biar kalau tak untung, Pangandaran itu bisa kena Tsunami seperti Aceh....'. Ternyata umpatan saya sungguh jadi kenyataan. Tentu bukan karena umpatan itu, musibah terjadi.
Beberapa hari sesudah peristiwa itu, saya pergi rebon. A.l mampir ke Pastoran Pemalang. Makan bersama Rm Vincent Suranto dan Rm Hadisiswoyo MSC. Saya ceritakan pengalaman tgl 16 Juli --gundahan, tepatnya, umpatan saya--, dan kejadian tgl 17 Juli--kejadian tsunami Pangandaran. Mendengar kalimat-kalimat saya Rm Hadi menghardik, 'Hati-hati kalau bicara itu.......'.
Atas teguran Rm Hadi, saya tersadar bahwa bagaimanapun peristiwa Tsunami itu musibah. Dan musibah adalah bencana. Bencana itu memakan korban nyawa. Tak satu dua, malah ratusan..... Belum lagi yang kacau karena kehilangan ini-itu. Saudara, rumah, ladang, makan, pakaian, dsb-dsb. Memang bagiamanapun manusia musti berbela-rasa. Compasion. Ikut, terlibat sehati, seperasaan dengan saudara yang menderita. Di sini terletak kata S o l i d a r i t a s.
Terimakasih Rm Hadisiswoyo MSC, atas teguran-mu.....
Terimakasih kepada siapa saja yang sudah ber-solidaritas, menolong korban banjir.
Syalom. Wilujeng ndalu. Rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-
www.lelakuku.blogspot.com
www.biblestudiescommunity.com
Jumat, November 28, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar