Adalah harga mati, bahwa rohaniwan-rohaniwati katolik tak boleh punya anak. Maka agak tak enak hati jika harus bicara tentang pendidikan anak. Apalagi Pendidikan Anak Usia Dini. Tak apalah, karena hampir tiap kali berhadapan dengan orang yang berkategori 'anak-anak'.
Suatu kali ada kegiatan pelayanan gizi & penimbangan anak, di sebuah stasi. Jaraknya, berkisar 40 km. Lumayan jauh. Penyelenggara program sosial itu, adalah ibu-ibu WK. Dalam satu kesatuan team, itu direalisasikan. Sekali perjalanan membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam 15 menit. Dus pp 2,5 jam-an, waktu perjalanan. Menyusuri bukit-bukit, dan juga tepian sungai Serayu.
Perjalanan, jam-jam-an bersama rombongan ibu-ibu, tentu banyaklah cerita yang yang ter-ekspresikan. Sambil ngrangkep sebagai pengemudi Kijang, terdengarlah ekspresi-ekspresi cerita pengalaman hidup, berkaitan dengan dunia anak. Juga lalu dunia dewasa dan dunia rumah-tangga.
Perjalanan, jam-jam-an bersama rombongan ibu-ibu, tentu banyaklah cerita yang yang ter-ekspresikan. Sambil ngrangkep sebagai pengemudi Kijang, terdengarlah ekspresi-ekspresi cerita pengalaman hidup, berkaitan dengan dunia anak. Juga lalu dunia dewasa dan dunia rumah-tangga.
Seorang ibu, anggota WK, --tak ikut rombongan Kijang itu--, punya anak potensial. Salah satu potensinya adalah raga. Ya, olah raga. Dia jadi atlet lokal. Lalu dikirim ke Ibukota propinsi sebagai perwakilan tingkat propinsi. Tak proses jauh lagi, akan bisa jadi atlet nasional. Namun ada satu kelemahan dlm diri calon atlet ini, dia mudah mutung, mudah tersinggung. Ada warna, segala kehendaknya harus dituruti. Jika tak dituruti, lalu mutung, ngambeg, tindakannya terus aneh-aneh. Seolah-olah 'dunia' ini adalah miliknya sendiri. Sebutan lain, 'Selalu ingin menang sendiri'.
Dlm analisis kasus-nya, ibu-ibu WK dlm kijang, mengatakan, bahwa akar-masalahnya, dulu ketika kecil, si calon atlet itu di-manja oleh ibunya. Apa-apa dituruti kemauannya. Hampir tak pernah mendengar kata negasi 'tidak', atau 'jangan'. Mayoritas yang dirasakan adalah kata 'Iya', 'Oke'. Itulah internalisasi suasana yang terjadi bertahun-tahun, terutama dlm masa balita. Akhirnya, sikap yang tertanam adalah 'sikap ter-layani terus-menerus'. Bukan sikap me-layani. Keadaan juga harus melayani dia. Padahal, dunia ini bukan milik perseorangan, melainkan milik banyak orang. Inilah titik kontra-nya.
Akhirnya, calon atlet ini tak jadi ke pelat-nas. Tak tahu pasti karena apa. Tapi yang terdengar, dia tersangkut nar-ko-ba. Terakhir, ibunya harus menggadaikan sepeda-motornya, untuk urusan anaknya, yang calon atlet tersebut.
Memang tak mudah mendidik anak. Apalagi ketika sudah tahap remaja. Itulah kesimpulan seminar kecil dalam perjalanan di mobil kijang. Batin nakal saya ber-ujar:
Bayi nggemeske. Cilik nyenengke. Gedhe, njelehi. Tua, .....................
Minggu ini, karena situasi darurat, saya turut bantu ngitung kolekte. Salah satu penghitung adalah seorang ibu sederhana, tukang pijat, didikan Dep-sos. Dia tak punya anak. Lalu mupu, ambil anak dari adiknya. Malah sampai tiga. Tiga anak angkatnya. Kini sudah berkeluarga. Semua mapan. Tak banyak merepotkan. Ibu itu beri keterangan, bagaimana ndidik anak-anaknya ketika kecil dan remaja:
- 1. Berilah nasehat --(teguran-kritis, sapaan pedagogis)--, ketika hatinya sedang gembira. Ketika hatinya sedang senang. Consolatif.
- 2. 'Jangan menegur, beri nasihat anak ketika dia sedang emosi, mangkel, atau sedang tak enak-hatinya. Apalagi sedang kagol.
Syalom. Wilujeng ndalu. Rahayu-rahayu-rahayu.
-agt agung ypm-
www.lelakuku.blogspot.com
www.biblestudiescommunity.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar