Minggu, Agustus 31, 2008

Sedih, karena Doa yang salah

Syalom. Wilujeng enjing. Rahayu-rahayu-rahayu.
5022_005

Hari ini(1/09/2008) memasuki Bulan September. Bulan yang sama pada tahun lalu, saya memimpin misa di Kapel Adipala, Paroki Kroya, Cilacap. Ketika sampai bagian salam damai, semua umat saling jabat tangan. Di antara umat itu, adalah Pak Constan. Dia berdiri, lalu juga salaman. Namun baru satu-dua pasang tangan dia salami, jatuhlah dia ke lantai. Orang-orang pada menolong. Tidak menyangka, tidak lebih dari 7 menit, Pak Constan menghembuskan nafas yang terakhir. Dia kena serangan jantung. Bablas arwahnya. Suasana misa jadi kacau balau. Saya tertegun di altar. Hampir 20 menit. Terbengong, tak tahu harus berbuat apa. Suasananya kalut. Ada yang mijiti. Ada yang cari air panas. Ada yang ngeroki. Ada yang teriak-teriak. Bingung. Hampir semua bingung.  Berhubung suasananya tidak karuan, hosti yang sudah terkonsekrir, sesudah terpaku hampir setengah jam, berdiri di altar,  saya masukkan ke tabernakel. Umat tidak sempat menerima komuni. Ritus penutup-pun juga tidak sempat terlaksana. Kalut, kacau, bingung, tidak-karuan, sedih, meratap, entah bagaimana lagi mau dikatakan. Liturgi jadi tidak lengkap. Dus tidak pakem, tidak ideal.
Beberapa tahun yang lalu, beberapa para mahasiswa Seminari Tinggi live in di kawasan Parangtritis, diadakanlah di sebuah lingkungan doa bersama, rosario. Salam Maria didoakan secara bergilir. Giliran ketika itu jatuh pada seorang tokoh umat. Bagian awal doa Salam maria, lancar. Namun mendekati bagian tengah, mulai macet. Diulangi lagi, macet lagi. Diulangi lagi, macet lagi. Sampai tiga kali. Tokoh umat itu jadi abang-ireng mukanya.

Ketika di Kampunglaut, beberapa umat memilih lagu sendiri, untuk sebuah perayaan ekaristi. Mereka yakin sudah hapal syair dan notnya. Harap diketahui, umat kampunglaut jika latihan koor, tahap pertama syairnya dulu baru notnya. Bukan notnya dulu baru syair.  Semestinya khan, kalau belajar nyanyi, notnya dulu baru syairnya. Itu guru musik bilang.  Betul. Waktu persiapan umat merasa yakin bisa nyanyikan lagu itu. Tidak tahunya, ketika  ekaristi berlangsung, lagu itu dinyanyikan, pas sampai pada bagian tengah lagu, yang nyanyi makin dikit, makin dikit. makin dikit-makin dikit. Lama-lama tak ada yang nyanyi, alias macet. Ternyata mereka belum hapal lagunya. Memang pada awal lagu, keras nyanyinya. Tapi makin lama makin lirih, makin lirih. Dan akhirnya macet. Cet. Macet total.

Sesudah macet, suasana jadi hening sejenak, lalu tiba-tiba, serentak mereka ketawa hampir bersamaan. Umat Geli sendiri. Ha...Ha....Ha.... Kemudian ada yang komentar: "Ya ngana milih-milih lagu dhewek, macet-macet dhewek......!!"
Minggu ini, saya memimpin kompletirium di Heninggriya. Ngantuk dan capek terasa, bag. madah juga hampir kelewatan.  Hati jadi nggak enak.

Bahasa Doa bisa keliru. Rumusannya bisa tidak tepat. Bacanyapun bisa salah. Liturgi, bisa ada bagian yang kelewatan. Atau malah redandent, terulangi scr tak sengaja. Memprihatinkan.

Namun ada satu yang tak bisa keliru, yakni arah dari doa. Kiblat dari liturgi, yaitu Allah, Sang Purwaning Dumadi, Sang Hyang Widi, Allah Bapa penguasa surga dan bumi, Raja semesta alam.

Wasalam:
- agt agung pr -

Tidak ada komentar: