MUNGKINKAH ORANG KECIL HIDUP TANPA HUTANG ???
Ketika di Paroki Kroya, dalam satu hari saya selalu menyempatkan diri keluar dari pastoran. Berbekal konsep pastoral pedesaan, kerap keliling paroki, menjalani kegiatan parokial kegerejaan maupun berwawasan masyarakat pedesaan saya lakukan. Kegiatan bisa aneka ragam: rapat stasi, pendalaman app, mendampingi latihan koor, monitor pelajaran agama/krisma, misa stasi & lingkungan, kunjungan orang sakit, kunjungan orang terpencil, dlsb.
Dalam upaya mengetahui masalah sosial kemasyarakatan saya menyrawungi orang-orang desa, petani, pemilik warung-warung kecil di tepi-tepi sawah. Di warung kecil tepian sawah itulah tiap kali terjadi himpunan banyak orang. Dari sana terdengar pula aneka persoalan kemasyarakatan, dari soal pilkada, TKI, sampai anak SMU yang digrebek polisi karena pacaran.
Di Paroki Katedral, sekali dua kali saya melakukan hal yang kurang lebih sama. Belum lama saya kenal dengan seorang tukang tambal ban. Berangkat dari ban yang kempes di jalanl ban, pembicaraan bisa meluas lebar, dari agama sampai ekonomi. Dari kenalan itu terketahui bahwa dia anak ke 9 dari 13 bersaudara. Bapaknya pensiunan angkatan laut. Asli bapaknya di timur Malioboro Yogyakarta, bagian ledok, alias tepian sungai. Dia dan keluarganya tidak katolik. Penambal ban itu sudah berkeluarga. Anaknya satu. Istrinya sedang mengandung 7 bulan. Jadi hampir punya dua anak. Dia cerita kalau banyak saudara dari bapaknya yang beragama katolik. Agama katolik sudah tidak begitu asing baginya.
Di dalam proses sambil omong-omong, saya amati penambal ban itu selalu hanya menerima kendaraan roda dua. Tiap kali ada kendaraan roda 4, alias mobil, bawa ban kempes, selalu ditolaknya. Semula saya heran, rejeki kok ditolak.
Sesudah saya tanya, dia jawab bahwa alatnya tidak lengkap, Alat yang dia punya tidak mampu untuk menangani ban-ban mobil. Masih ada kekurangan ini dan itu, termasuk gerobak dorong untuk bawa peralatan. Apa tidak ingin melengkapinya?. Dia bilang, sebenarnya ingin, tetapi modalnya belum cukup.
Berangkat dari rasa kekurangan itu, saya mencoba mengenalkan kegiatan sosial gereja. Saya tanya apa tahu Gereja Katolik Katedral. Dia jawab, tahu. Di sana ada kegiatan amal, tanpa harus jadi katolik. Bahkan bisa pinjam modal tanpa bunga. Dia ternyata juga tahu hal itu. Maksud saya, dia mau tak hubungkan dengan komisi PSE, atau CU. Pendek kata saya ingin membantu soal permodalan mikro.
Bayangan saya, penambal ban itu akan bersemangat untuk menerima bantuan yang syaratnya ringan. Ternyata jawabannya mengagetkan. Dia tidak mau menerima bantuan-bantuan kayak gitu. Dia bilang, "Banyak orang yang mau bantu saya, dari bank plecit sampai LSM. Tetapi saya tidak mau" . Dialog orang itu dengan saya terjadi dlm dialek jawa banyumasan. Dia mengatakan, "Kula niku wegah duwe utang !. Duwe utang niku uripe ora tentrem."
Dari tambal ban roda dua, orang bisa hidup tanpa hutang. Ternyata bisa. Jaman sekarang lagi.
Wasalam:
- agt. agung pr. -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar