Berangkat dari undangan dari Kapolwil (selasa 26/8/2008), saya ikut upacara pemusnahan MIRAS di aula Polwil Banyumas. Susunan acara terdiri dari 4 bagian: Pemusnahan minuman keras, makan bersama, doa bersama 6 agama + santunan panti asuhan, dialog interaktif. Berbagai umat datang dari Kab Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara.
Pada acara itu saya sempat duduk berdampingan dengan Kiai Haji Ahmad dari Jatilawang. Dia pengasuh salah satu pondok pesantren di Jatilawang, mewakili umat Islam. Kiai Haji Ahmad ini ternyata kakak dari Ahmad Tohari, penulis novel terkenal "Ronggeng Dukuh Paruk". Terjadi dialog, saling sapa, omong-omong tukar pengalaman. Di dalam omong-omong itu, antara lain dia bertanya pada saya demikian: "Bapak putranya sudah berapa ?". Saya agak kaget disodori pertanyaan spt itu. Lalu saya jawab, "Saya tidak punya anak. Dan tidak boleh punya anak..!" (Red: ketika itu saya pakai pakaian resmi, jubah putih). Dari ekspresi wajahnya dia baru sadar bahwa pastor katolik tidak boleh beranak. Lalu dia menambahkan, "Saya punya anak sembilan." Tanggapan saya, "Oooo. hebat ya !" Sesudah pernyataan itu, saya pikir kalimatnya selesai. Ternyata belum. Dia melanjutkan lagi, "Itu dari istri yang pertama..." Mendengar kalimat berikutnya ini, saya jadi kaget campur heran, mlongo, kamitenggengen. Kemudian kalimatnya bersambung lagi, "Dari istri kedua, saya punya dua anak. Jadi semua anak saya ada 11 orang.." Lalu saya tanggapi lagi, "Oooo...! hebat ya." Kamitenggengan pertama, tersambung dengan kamtenggengen kedua. Saya terus jadi plonga-plongo. Pikir saya, "bisa begini ya model hidup seorang kyai ?!. Punya istri tidak monogam kok malah bangga, Tidak mensukseskan program KB pemerintah, kok bangga". Nampaknya dia kemudian tahu plonga-plongo saya, sebagai ekspresi dari rasa keheranan atas dirinya. Kemudian Kyai Ahmad bilang lagi, "Saya membutuhkan keturunan kok..!"
Munculah kesadaran dan kebanggan saya atas agama katolaik yang saya anut. Inilah bedanya agama katolik dengan agama yang lain. Nilai monogam, tak terceraikan merupakan nilai unggulan. Hirarki, magisterium, askese selibat tersadari pula sebagai nilai unggulan lain. Apakah sekarang agama juga harus berbasis kompetisi, dan kompetensi, sebagaimana kurikulum sekolah juga demikian.
Wasalam:
- agt agung pr. -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar