Minggu, Mei 30, 2010

Pengajian

 Sabtu, Minggu lalu, Kijang-Hijau-dinas meluncur ke Sokaraja. Tidak untuk beli gethuk-goreng, atau beli soto-kecik, melainkan untuk mendatangi undangan. Yang mengundang kelompok keagamaan NU, dibawah binaan Kyai Abah. Diadakan sebuah dialog antar agama. Tempatnya gedung NU, belakang Soto-lama-Sokaraja. Yang hadir, tokoh-tokoh moslem, kristen-GKI, kristen-Jawa, kristen katolik. Perwakilan Khong Ho Chu, Budha, dan Hindu tidak kelihatan hadir. 

Dari Moslem, ada beberapa perwakilan. Ada dari NU sendiri, Muhamadiyah, LDII, PKS, dsb. Pak Camat, juga datang. Banyak ragam orang, jadi satu di tempat dialog yang berupa sebuah mesjid tradisionil itu. Posisinya, di tengah perkampungan. Di depannya, ada kolam ikan. Dan sebuah sungai kecil, mengalirkan air dengan derasnya. Air yang cukup melimpah, menjadikan banyak ikan juga ada di sungai itu. Sebuah ekosistem yang menyenangkan, dan menyejukkan.


Dalam sambutan pengantarnya, Kyai Abah mengatakan, 'Seorang santri, yang masih berpendapat bahwa Bani Israel itu kapir, harus mengaji kembali !.' Kalimat itu diucapkan dengan lantang, sebanyak tiga kali. Yang mau dimaksud, dengan kalimat itu, adalah bahwa dalam hidup beragama, orang mesti menghargai kelompok-kelompok lain, agama-agama lain. Juga Bangsa Israel. Ajakan, saling menghargai itulah, yang ditekankan. Diharap saling penghargaan satu sama lain, bisa terbangun dengan dialog-dialog.


Sesi pertama, pihak Kristen dipersilahkan memberikan makalahnya. Namun, terjadi sedikit bingung, karena yang datang, ada GKI, ada GKJ.  GKI sendiri ada dua. Ada GKI Gatotsubroto, ada GKI Sokaraja. Mana yang harus maju. Lalu diputuskan satu sama lain saling melengkapi, memperkenalkan diri, dan memberikan uraiannya. Ada yang mengangkat soal 'Sosiologi Agama'. Ada yang mengangkat soal pembabtisan dalam Alkitab.


Pihak Katolik, juga memberikan uraian singkatnya. Terakhir, pihak Muslim. Seorang Kyai dari kalangan intelektual membawakan makalahnya, bertemakan tentang nilai manfaat agama. Dikatakan, agama mesti membawa manfaat bagi pemeluk-pemeluknya. Juga bagi, yang bukan pemeluk sekalipun. Ada 4 hal yang dikemukakan.

1. Agama mesti membawa rahmat.
2. Agama mesti membawa tenang. Maksudnya, ketenangan, kedamaian.
3. Agama mesti membuahkan perbuatan baik.
4. Agama mesti sampai pada kasih sayang pada sesama.

Sesudah penampilan para pemrasaran, diadakan tanya jawab. Seorang muslim, bertanya tentang apa beda Kristen & Katolik. Tanya juga, Kristen, kok ada juga macem-macem. Penanya lain, bertanya tentang siapakah 'Kristen militan', atau 'Kristen Ekstrim'  itu.


Dalam butir butir penutup, ditegaskan lagi pentingnya agama, dan pentingnya dialog. Karena persoalan antar agama, kerap timbul akibat dari ketidakmengertian satu sama lain. Ditekankan lagi bahwa semua agama mesti mengarah pada perbuatan baik, perbuatan bermoral, tindakan membantu, menyayangi sesama.


Sesudah acara rampung, disuguh makan besar. Makan nasi, lauk gulai kambing dan gulai ayam. Enak sekali. Ketika para peserta sedang enak makan, seorang perempuan berpakaian agamis, turun ke kali. Tidak untuk mencari ikan, tetapi ..............weladalah, untuk BAB.  Jadilah siang itu, makan gulai disuguhi orang .........


Agama memang mesti bermuara pada perbuatan baik, bantu sesama. Apalagi yang menderita, yang kekurangan.

Orang perempuan, yang buang hajat di depan orang santap gulai, tentulah termasuk kategori kekurangan, atau tak punya. Yang jelas tak punya jamban di rumah.

Maka, tepat & betul-lah sebuah konggregasi biarawati yang berkarya di Stasi Wangon, tak berdialog tingkat konseptual, melainkan berdialog dengan 'Jamban-isasi'. Mengkondisikan agar orang yang berkekurangan bisa punya jamban. Agar sehat, dan normatif. Serta tentu saja, orang bisa makan gulai dengan enak.


Selamat, menikmati gulai-gulai kambing, ataupun ayam.  Selamat berdialog.

Wasalam:
-agt agung pypm- 

Tidak ada komentar: