Calung adalah musik tradisionil dari Banyumas. Terbuat dari bambu-bambu. Konstruksi mirip gamelan karawitan. Suaranya, khas tak jauh dengan nada-nada angklung jawabaratan. Mendayu-dayu, 'Klung, klung, klung....'
Alat musik calung, ternyata tak hanya buah karya seni, dan karya budaya. Lebih dari itu, juga menjadi jembatan komunikasi antar manusia, antar warga. Di manapun. Kapan-pun. Siapa-pun.
Minggu lalu, 'Pick-up Chevy-Luv', memuat calung-calung itu di bak-nya. A.l. dibawa dari Cilongok menuju Purwokerto. Dari alat musik terbuat dari bambu itu, muncul sapaan-sapaan. Mengapa mereka menyapa, tentulah karena ada bahan. Bahan sapaan. Bahan itu, menggerakkan hati. Maka terjadilah sapaan hati. Terjadilah komunikasi. Bahan komunikasi, adalah 'Calung'.
1. Seorang kernet 'Mikro Bus' ber-trayek Purwokerto-Bumiayu, sambil menggelantung di pintu bus-nya, menyapa, 'Arep tanggapan maring ngendi mas........?'.
2. Seorang bakoel nasi, bertubuh gemuk-bundar, menyapa pula dengan bertanya, 'Ajeng pentas pundi pak.....?'. Tak hanya itu, ternyata si Ibu, dulunya juga penabuh calung. Juga penyanyi. Nyanyian favoritnya, 'Ricik-ricik'. Sekarang, tak banyak ikut calungan, kecuali untuk acara 'Pitulas-an'. Dari hanya melihat calung di bak pick-up, menjadi obrolan panjang kesana-kemari.
3. Di sekitar jembatan Sungai Logawa, ada operasi Pol-tas. Polisi lalu-lintas. Mobil-mobil & motor, diminta berhenti. Diteliti. Demikian pula mobil-mobil box & pick-up. Namun ternyata ada kekecualian, Pick-up chevrolet-Luv, terus meluncur, dan tak diminta berhenti. Si pengemudi, peng-udud-'76, tanya dalam hati, kenapa ya ini. ..... Lalu sesudah agak jauh, dicoba dijawab sendiri, mungkin karena muatannya alat musik 'calung', yang bagi masyarakat Banyumas masih melekat di hati. Dus, budaya-seni, musik tradisionil bentuk calung-pun masih dihormati, masih dijunjung tinggi. Juga oleh pak polisi.
Calung-calung dibawa, menuju gereja Katedral, untuk peribadatan Liturgi. Ekaristi, diiringi dengan musik Chalung, khas Banyumas. Lagu-lagunya, karangan Pak Yuli. Juga lagu bergaya Banyumas. Dengan pula senggakkan, 'Ok... Ya !, Oookkk,...... ya......!. Lo lo lo lo......oooook, Ya....!'.
Penabuhnya, orang-orang Cilongok. Semuanya, tak katolik. Tapi amat ramah, dan kondusif. Ikut liturgi, mengiringi liturgi, dengan sepenuh hati. Mereka berbesar hati, dan bersenang hati, karena musik tradisi leluhurnya, dihargai orang. Juga dihargai oleh gereja katolik. Dus, terjadilah inkulturasi.
Mau dekat dengan masyarakat Banyumas !?, Nikmatilah musik calung. Olah-lah, gubahlah, junjung-tinggilah, juga dalam doa samadi dalam kegiatan liturgi. Nampaknya, ini tugas komisi liturgi. Mengangkat lagu banyumas, dalam misa, dalam liturgi. Juga ekaristi.
Selamat, manjing, ajur, ajer, menjadi Wong Peng-inyong-an, Banyumasan.
Syalom. Wilujeng wengi. Rahayu, rahayu, rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-
Minggu, Agustus 09, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar