Mestinya dia benar. Berposisi di jalur kiri jalan. Tapi bagian itu diserobot kendaraan dari arah berlawanan. Akibatnya, 'Lhaaa...., lha.........., lha..........., hampir tabrakan. Lalu, dia meminggirkan kendaraannya di bagian jalan yang tak ber-aspal. Serta pula kemudian, menghentikan kendaraannya, dia sambil narik napas & berkata, 'Sing waras ngalah. Sing waras, ngalah..........!'
Dengan ber-ucap, dan meminggirkan kendaraan, ber-arti dia menerapkan sikapnya dalam perbuatan. Dia sudah benar, dia waras, namun mengalah. Demi sesuatu yang mulia. Yakni, tabrakan terhindari. Keadaan akan berbeda jika dia tetap tak mau ngalah. Posisi hukumnya sudah benar, berjalan di sisi kiri jalan. Namun toh, tetap tak kebagian jalan, karena diserobot orang. Orang yang tak patuh pada aturan. Tak disiplin pada undang-undang, demi kepentingan diri. Maka memang benarlah --kata slogan--, 'Kecelakaan, bermula dari pelanggaran'. Dan itu kerap terjadi.
Selama hidup di atas bumi, peng-udud '76 mengalami banyak kejadian. Juga ketika menapaki sesi hidup dalam lingkup per-imam & per-iman-an katolik. Kejadian yang banyak me-nyesak-kan, lebih pada jika menghadapi hal:
Ketika, apa yang mestinya benar, dikatakan, sebagai tidak benar.
Ketika sebuah kesetiaan bersifat injili & gerejawi, lalu dikatakan sebagai tak injili.
Ketika sebuah fakta A, lalu dikatakan sebagai non-A.
Dan ketika, ketika, ketika yang lain....nya.
Seorang rohaniwan amat senior, memberikan nasehatnya, dalam sebuah kalimat sederhana, 'Sing Waras Ngalah !'.
Nasehat itupun, ternyata cocok dengan yang diamalkan sopir mikro-bus trayek Bumiayu - Purwokerto, 'Sing Waras Ngalah !'.
Apakah aku, sudah ..............
Apakah kita, sudah ..............
Apakah anda, sdh (sing).............(ngalah).
Syalom. Wilujeng wengi. Rahayu-rahayu-rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar