Kamis, September 30, 2010

Gereja Wong-wetan


Tahun tujuhpuluhan, bahkan tahun delapanpuluhan, masih terdengar persepsi, bahwa Gereja Katollik itu, gerejanya kaum kolonial. Agama penjajah. Dengan inkulturasi, akulturasi, interkulturasi, anggapan itu semakin berkurang.

Kelompok peminat musik-calung banyumasan, sudah sekian kali berlatih. Makin lama, makin enak terdengar di telinga. Beberapa lagu mulai fasih dibawakan, baik oleh penyanyi maupun penabuhnya. Penabuh, yang mayoritas pegawai gereja katedral. Penyanyi yang seorang seniman Jawa-banyumasan, baik secara ilmu maupun ekspresi seni budaya.

Untuk menjadi sebuah musik yang indah, yang banyumasan, diundanglah guru dan praktisi seni calung dari Cilongok. Tiga kali sudah mereka datang ke Paschalis Hall, untuk membetulkan paduan musik yang sekiranya belum betul. Atau belum pas di telinga. Atas sentuhan mereka, makin laras-lah alunan musik calung itu. Kurang-lebihnya, semakin mendekati pakem gamelan calung model banyumasan yang otentik.

Tiap kali datang melatih, butuh waktu sekitar dua-jam. Karena malam, sulit kendaraan, maka Kijang-hijau dinaspun, melaksanakan tugasnya, menghantar & menjemput. Tentu dengan honor yang sepantasnya.

Dari latihan musik secara bersama, terjadilah kontak budaya. Dan juga kontak person-manusia. Tentu saja dengan masalah-malah harian yang dihadapi. Sekolah, kerja, pertanian yang gagal, asal dan usul, dsb-dsb. Pada sebuah perjalanan pulang menuju Cilongok, salah seorang pelatih musik Calung bertanya: 'Sing tumut latihan calung wau, sedaya tiyang-wetan nggih pak !?'
Pengemudi Kijang Dinas, agak kaget dengar pertanyaan orang Cilongok asli tersebut. Lalu beri jawaban, 'Boten, malah katah sing seking Banyumas mriki. Sing ngendhang saking Kapencar Wonosobo. Sing ngegong, tukang bersih greja, seking Plumutan Purbalingga. Sing demung, sok nyoting BMS TV, lahiran Purwokerto mawon. Sing ndemung sijine, pedamelane jaga Pascalis-hall mriki, seking Purbalingga. Konsultan musik wau, bapake seking soka negara. Mbahe, seking Adisara. Ibune nika, seking Brani, pinggir Kali serayu. Sing sekang wetan niku namung kula. Ning seniki nggih ilate kalih batine empun banyumasan. Malah lali wetane.

Hampir satu abad, Gereja hadir membumi di tanah Kamandaka ini. Namun, masih ter-persepsi, agama Katolik, adalah agamanya 'Wong wetan'.

Mari kita membangun persepsi, Gereja Katolik, bukan gerejanya 'wong wetan' semata. Namun gerejanya semua, dari timur ke barat. Dari utara, dari selatan. Dari seluruh dunia.

Syalom. Wilujeng. Rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-

Tidak ada komentar: