Satu Suro

Waktu, adalah sebuah proses. Proses berubahan, dari satu kejadian ke kejadian berikutnya. Menjadi sebuah rentetan. Waktu tak bisa disentuh, tapi bisa dirasakan, dialami. Manusia hidup, dari waktu ke waktu. Ada berbagai cara menandai waktu. Detik, menit, jam, hari, adalah penanda-penanda waktu. Hari, diberi tanda dengan angka, menjadi sebuah kode bersama. Disebut tanggal. Munculah kemudia, sistem penanggalan. Kumpulan, akumulasi dari tanggal-tanggal, disatukan dalam sebuah satuan. Satuan baku, lalu disebut bulan. Bulan-bulan, dirangkaikan, menjadi sebuah satuan sistem yang lebih besar. Disebut tahun. Pola penghitungan tanggal & bulan, ada beberapa ciri khasnya. Muncullah kemudian sistim tarikh, tahun. Ada tarikh masehi. Ada, tarikh islam. Ada tarikh Jawa. Tarikh, imlek. Dsb.

Suro, adalah bulan pertama dalam sistem kalendarium Jawa. Tahun baru, istilahnya. Sesudah Suro, nama-nama bulan berikutnya terdiri dari: Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akir, Rejeb, Ruwah, P(u)asa, Sawal, Dulkangidah, Besar.  Banyak orang di malam satu suro, pada tirakatan, lelaku, semedi, laku hening.

Sistem-sistem kalendarium dibuat oleh manusia, guna membantu kelancaran hidupnya. Termasuk juga penanggalan Jawa. Yang membuat sistem penanggalan model tersebut, adalah Sultan Agung. Dia memodifikasi sistem penanggalan Islam, guna melindungi religiusitas rakyatnya. Ketika itu pewartaan agama islam dari kawasan pantai utara demikian semaraknya. Sultan Agung, sebagai raja Jawa yang cerdik-pandai, menerima pewartaaan dakwah itu, dengan bijaknya. Dia tidak menentang frontal. Namun juga tidak menerima mentah-mentah. Maka dibuatlah sistem kalendarium Jawa. Dimulai dengan Bulan Sura.

Ciri khas lain dari sistem kalendarium karya Sultan Agung, adalah suasana. Suasana tahun baru dimaknai secara khas. Tidak diisi dengan pesta pora. Namun diisi dengan kegiatan yang punya makna. Awal tahun, baik bagi manusia untuk melihat makna hidupnya. Di situlah terjadi kegiatan 'olah batin'. Maka banyak penghayat agama yang cocok dengan pemaknaan itu, mengadakan aktivitas 'lelaku': Laku tapa, laku diam, laku hening, laku semedi, dan laku-laku yang lain.

Jadi dari kacamata Sultan agung, yang menganut kepemimpinan berfilosofi, 'Agung Binatara', banyak unsur disatukan. Demi kepentingan rakyat, menuju peng-abdian kepada Sang Khalik, Tuhan penguasa alam & waktu. Maka, dia menerima kerajaannya diislamkan. Sekaligus Islam yang datang itu dijawakan. Suatu hal yang baik, tak harus dihadapi dengan konfrotatif, melainkan akomodatif. Menjadi sebuah kearifan, yang bermakna bagi semua.

Selamat tahun baru. Selamat menikmati malem satu suro.

Wasalam:

-agt agung pypm-