Kamis, Desember 24, 2009

Sepotong Kisah Seorang Lektor


Sebuah stasi, Tambaknegara, namanya. Berposisi di dekat bendung gerak Serayu, kawasan pedesaan-pegunungan. Umat merayakan ekaristi, tiap dua minggu sekali. Perkembangan umat memang, bergrafik menurun, alias memprihatinkan. Jika umat-umat di perkotaan, tanya pada peng-udud '76 tentang stasi itu, yang muncul selalu warna keprihatinan, menyayangkan, bernada keluhan.

Setelah direnung-renungkan 'rasa sayang-rasa sayang' yang muncul itu, jatuh akhirnya, ya--maap-- sebatas 'rasa sayang'. Tak kemudian, muncul ide bantu, untuk menyelamatkan stasi itu, agar survive, bisa berkembang, tak lenyap dimakan jaman. 

Di stasi kecil itu, terdapat 12 umat yang setia ikut ekaristi. Yang ibu muda, 1. Yang balita satu, atau terkadang dua. Yang remaja, satu.   Yang remaja seorang jejaka, klas satu es-em-pe. Ketika ekaristi, yang jadi lektor adalah si remaja-es-em-pe. Bahasanya, pakai liturgi Jawa. Buku bacaan-kitab-sucinya, terbitan Panitia Liturgi KAS. Bahasa Jawa gaya yogya-solonan, dibawakan dengan lidah banyumasan.  Menjadi sebuah ekspresi iman yang khas.



Ketika masih di klas enam, es-D, Si remaja es-em-pe sudah bertugas jadi lektor. Ketika itu, saat baca, masih kadang kadang, meng-eja huruf. Terutama 'ng...' dan 'ny...'. Namun sekarang sudah makin trampil bacanya. Isi bacaan juga sudah bisa tertangkap. Apalagi stasi itu sekarang dikirimi pengeras suara, model wireless, merk Wenston. Saat di depan mic, peng-udud '76, menyarankan agar gaya bacanya, membayangkan seperti penyiar TV.


Jadi, menjadi lektor berbahasa lokal, bukanlah sebuah benda meteor yang jatuh dari langit. Seorang umat seusia SMP, sudah bisa melaksanakan tugas itu. Bahasa Jawa lagi. Rutin, lagi. Makin hari, makin lancar lagi. 


Lalu bagaimana juga, sebuah stasi kecil, pedesaan-pegunungan harus di-'survive'-kan. Tentu butuh ide. Ide yang real. Ide yang memperkembangkan. Dan ide itu diaplikasikan. 


Kebanyakan remaja pedesaan, punya orientasi kerja. Kerjanya di kota besar. Atau jadi TKI. Namun kebanyakan pula, jika sudah begitu mereka lalu tak pulang.  Atau jika mereka pulang, banyak yang sudah ganti baju, atau ganti iman. Mensikapi situasi seperti ini, rasanya tepat memperhatikan program yang dijalankan oleh Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo: 'Bali ndeso, Bangun ndeso'. 


Praktik-pastoralnya, adalah membuat orang muda tetap bisa cari nafkah di desanya. Tak usah pergi ke kota besar. Dan itu bisa terjadi, jika mereka punya potensi. Jika potensi belum punya, dipunyakan. Digali, dibantu pengembangan potensi itu, sampai bisa jadi tumpuan hidup. Jadi mesti ada penegasan orientasi. Dari orientasi ke perkotaan, dibalik orientasi ke pedesaan. 


Pengembangan potensi, memang butuh dana, juga tenaga, dsb. Para misionaris jaman dulu, banyak menyekolahkan anak-anak desa. Sebuah pengembangan potensi. Si Remaja es-em-pe, yang biasa tugas jadi lektor, sekarang liburan dua minggu. Dia nyantrik kerja di sebuah bengkel. Malam hari di rumah, dibantu oleh mamaknya, sedang menyusun proposal untuk mendirikan bengkel kecil. Peng-udud '76 punya gagasan, si Lektor, remaja es-em-pe, bisa sekolah STM. Jika sudah ber-ilmu, dan  trampil, jadi pengusaha di desanya, di stasinya. Lalu punya istri, orang setempat. Lalu punya anak-anak, yang akhirnya bisa jadi lektor, mengganti bapaknya. Keluarganya, menjadi aktivis stasinya. 


Selamat menjadi Lektor. 


Syalom. Wilujeng. Rahayu.

Wasalam:
-agt agung pypm-

Tidak ada komentar: