Selasa, Desember 21, 2010

Lulus ITB

Jika seseorang lulus dari ITB, tentulah diwisuda. Dinyatakan secara formal, legal bahwa seorang mahasiswa sudah dinilai layak menjadi profesional, berdasar ilmu-ilmu yang telah diperolehnya. Itu, jika ITB dalam arti 'Institut Tehnologi Bandung'. Sebuah perguruan tinggi yang cukup bonafid di Kota Bandung.

Tidak di Bandung, tapi kisah ini di kawasan Banyumas. Seorang remaja, usia SLTP, bisa lulus 'ITB'. Bagaimana ceritanya.
      Jika kita melintas di dekat Bendung Gerak Serayu. Tak jauh dari situ, ada gedung Kapel kecil. Itulah Kapel Stasi Tambak Negara. Belum begitu lama, di sebelah gereja, sekarang ada tulisan warna putih, di lingkaran sebuah ban motor. Tulisannya, 'Tambal Ban'. Memang di situ ada bengkel baru. Bengkel tambal ban. Pompanya, belum kompresor, melainkan masih manual. Pompa, pakai kaki dan tangan. Apa istimewanya. Tak ada yang istimewa. Kecuali catatan kecil tentang siapa yang buka bengkel itu.

Seorang remaja SLTP, klas 2. Deny namanya. Sesudah nyantrik belajar di sebuah bengkel di Sidaboa, kini jadi trampil. Trampil perbaiki sepeda, dan trampil nambali ban-ban bocor. Terutama ban sepeda motor. Karena ketrampilannya itulah, maka dia memberanikan diri, buka sendiri bengkel kecil di rumahnya. Di sebelah gereja tua. Jika habis sekolah, dia pasang alat-alat, menunggu jika ada pasien, motor yang minta ditambal, atau diganti ban-nya. Jika hari Minggu, atau hari libur dibuka-nya bengkel kecil itu full-time.

Alat pemompa belum model 'kompresor', karena cukup tinggi harganya. Maka pompa kaki-pun jadilah. Ditunjang oleh alat-alat yang lain. Termasuk kunci-kunci, tang, obeng,  tool-untuk press, gergaji, dsb. Dengan itu bengkel kecilpun operasional jalan. Dan semua alat itu tak diperoleh dari lembaga keagamaan, atau lembaga sosial. Atau dari PSE, ataupun APP. Bukan pula dari lembaga donor. Apalagi 'Fund' dari luar negri.  Bukan. Melainkan sumbangan dari seseorang. Seorang imam-katolik membelanjakan uang-sakunya, untuk meng-ada-kan alat-alat itu.

Sebuah kesempatan, peng-udud '76 mampir ke rumah-bengkel kecil itu. Ketemu dengan keluarganya, Ketika pamit pulang, bapaknya menjabat tangan erat-erat, sambil berkata ala bhs Banyumas, 'Matur nuwun romo, anak kula saged bikak bengkel, amargi 'akal-akalane romo......!'. 'Matur-nuwun nggih, matur nuwuuuuuuun, estu'. Kata itu diulang-ulang.

Hidup bisa maju, berkembang karena 'akal'. Akal sungguhan yang diaplikasikan. Bukan akal-akalan yang membuat kemandhegan, atau malah bikin perpecahan.

Mari kita mengembangkan akal. Di dalam kerasulan.

Syalom. Wilujeng. Rahayu.
Wasalam:
-agt agung ypm-

Tidak ada komentar: