Jumat, Januari 08, 2010

Gelandangan


Di era tahun 70-80-an, mobil jenis Colt T-120, Mitsubishi, banyak mewarnai jalan-jalan di Indonesia. Dikenal dengan sebutan 'Col Teisen'. Mobil pribadi, juga angkutan umum, banyak menggunakan kendaraan model & merk tersebut. Saat ini, di beberapa tempat Jawa Tengah, kendaraan jenis itu  masih beroperasi, melayani penumpang dan barang. Salah satunya, di Krendetan Purworejo. 




1/. Belum lama, Colt T-120 Mitsubishi, pegangan peng-udud '76, melintas jalan dari arah Purwosari, menuju Purworejo. Suasananya, sore menjelang gelap. Sehingga kendaraan umum jarak pendek mulai susah didapat. Ada seorang perempuan membawa tas pasar, berpenampilan pedagang, men-stop, ingin menjadi penumpang. Berangkat dari rasa iba, terangkutlah wanita ber-tas model pasar itu, jadi penumpang. Diceritakannya, dia hendak menuju daerah Magelang, sesudah kepergiannya ke daerah Purwosari.  


Di Purwosari, dia urus tanah-rumah yang seharusnya jadi miliknya, dan dimaksudkan untuk anaknya. Ternyata gagal. Kegagalan bermula dari peristiwa pahit hidupnya. Beberapa waktu yang lalu suaminya meninggal dunia. Tiga anak kecil, jadi tanggungannya. 


Semula, suaminya punya rumah & tanah. Didiami oleh dirinya, beserta ketiga anaknya. Namun, sesudah suaminya meninggal, dia mendapat perlakuan yang tak enak dari keluarga mertuanya. Perlakuan tak enak itu selalu terjadi, hampir tiap saat, tiap hari. Rupanya, situasi itu memang diciptakan oleh saudara-saudaranya yang punya kepentingan. Agar tak krasan. Dan akhirnya memang lalu tak tahan, tak krasan sungguhan. Diambil keputusan pulang ke rumah orangtuanya di kawasan Magelang. Ketiga anak kecil, dibawanya serta. 


Sesudah satu tahun, tanah & rumah yang pernah ditinggal, didatanginya, hendak diurus sebagai hak milik anak-anaknya. Tapi apa pasal, dia justru diusir oleh saudara-saudaranya dari pihak suami yang sudah meninggal. Akhirnya, pulang gigit jari. Hak waris, hilang melayang. Jadilah ia seorang gelandangan. 


2. Ketika situasi hidup sebagai gelandangan, musibah masih saja terjadi. Anak bungsu yang sekolah, klas tiga, di SD Inpres, jatuh ketika pelajaran olahraga. Engsel siku tangannya, meleset. Bonggol tulang tangan, keluar dari posisinya. Lalu dikirim ke Puskesmas setempat. Sesudah ditangani seperlunya, dirujuk ke sebuah RSI. Semalam-sehari di rumah sakit itu, ternyata disuruh menginap, tak segera ditangani, sebagaimana yang diharapkan. Takut, tak kuat bayar, anaknya diajak pergi pulang begitu saja. Akhirnya, selama dua minggu, engsel tulang siku yang meleset itu, hanya digendhong dengan kain saja. Tak diapa-apakan dalam pengobatan. Dan itu karena keterbatasan, dan karena kebingungan. 


3. Kebetulan, pengudud '76, baru saja mendapati, salah satu umat muda dari Stasi Kaliwedi, retak tulang kakinya. Jatuh dari sepeda motor, ketika bersrempetan dengan motor orang mau kondangan, di pojok desa. Karena setiap kali menghadapi umat yang patah-tulang, maka pada sebuah hari Minggu kelima, pergi dengan seorang aktivis stasi, mencari alamat orang yang pinter menangani orang patah-tulang. Berperjalanan sekitar 4 jam, terketemukanlah seorang pengobat tulang: 'Bp Slamet Sayekti', dusun MBero, Caruban, Kandhangan Temanggung. 


Informasi tentang alamat pengobat tulang, lalu diinformasikan pada si Wanita, yang nestapa, jadi gelandangan.


4. Tak ternyana, tak terduga, dua minggu kemudian, dalam sebuah perjalanan dari Sala-3,  pengudud '76 melihat Wanita nestapa itu, jualan kios rokok, di sekitar Tempuran. Lalu, berhenti, ditanyakan nasib anaknya yang sakit tulang lengan kanan. 
Dikisahkan, esok pagi sesudah dapat informasi tempat orang bisa berobat tulang, Si Wanita nestapa minta bantuan Pak RT. Pak RT-pun bersedia menghantar dengan sepedamotor. Membawa anak kecil klas 3-SD-Inpres yang tulang sikunya mleset, ke Kandhangan. Ke Pak Slamet Sayekti, penyembuh tulang. 
Oleh Pak Slamet, diobati secara alternatif. Siku yang mleset, didesaknya dengan sikut pula. Sampai bunyi 'Cekluk'. Sakit sekali, tapi habis itu nyerinya banyak berkurang.  Katanya.



Ongkos untuk berobat bagaimana. Ketika bawa si anak, Si Wanita nestapa sudah bilang bahwa, dirinya orang miskin, tak punya apa-apa. Pak Slamet, bilang 'duwene pira. Ora mari, rasah bayar. Enteke kabeh, sejuta duaratus ribu. Boleh dicicil, sak duwene'.




5. Dalam perkembangan, si anak, Siswi Klas 3-SD-Inpres mengalami kesembuhan. Diobati dengan 'mencicil'. Uang cicilan, a.l. didapat dari jualan baju mamaknya, yang masih-bagus-bagus.


Bantu sesama, adalah perintah semua ajaran agama. Bentuknya bisa aneka jalan. Kadang malah kebetulan.


Selamat jadi berkat, bagi sesama.
Syalom. Wilujeng wengi. Rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-

Tidak ada komentar: