Jumat, Februari 26, 2010

Bengkel-Las Ber-gregorian

Masyarakat
Seorang arsitek menekankan dua hal amat penting dalam mendirikan bangunan. Dua hal itu, pertama, sirkulasi udara. Kedua, tata suara. Pengalaman beberapa pelayan umat, jika memimpin upacara peribadatan di Sts Genthawangi, adalah terasa capek. Kecapaian diakibatkan harus omong keras, alias berteriak. Di ruangan kapel, pondok doa yang relatif besar. 


Untuk mengatasinya, dan untuk meng-optimalkan kekusukan peribadatan, dibantulah oleh paroki induk, sebuah pengeras suara model 'wireless'. Tetapi kreativitas umat perihal itu, masih kurang. Jika tak dikomando, tak ada yang inisiatif pasang alat itu. Jadi tetap di 'dos' saja. Peng-udud '76 tiap kali mau pimpin ibadat, mesti pasang alat itu, dengan kabel-kabelnya. Baru ada umat yang bergerak bantu. Tetapi untuk pemimpin ibadat yang lain, tak selalu tahu, bahwa harus begitu. 

Agar, liturgi menjadi menarik, peminpin tak kecapaian, suara jelas terdengar, pengudud '76 mencoba mengatasinya lagi. Pengeras suara model 'wireless', hendak dipasang permanen di dinding kapel. Dengan begitu, jika akan digunakan siapa saja, tinggal tekan tombol 'on'. Atau sekurang-kurangnya, tinggal pula pasang mic.  Realisasi pertama adalah membuat dudukan pengeras suara itu, agar bisa ditempel di dinding. Kedua, supaya aman, dibuat dudukan semacam kotak pelindung, di mana ada gemboknya. Kotak pelindung sekaligus dudukan itu dibuat dari besi. 

Sebuah siang chevrolet-Luv, pergi ke toko besi. Beli besi siku untuk kepentingan gereja. Dari sana, dibawalah besi-besi itu ke tukang Las. Oleh tukang las, panjang & lebar, serta tinggi diukur. Guna peng-ukurannya, maka alat wireless dibawa juga ke tukang las. Proses berlanjut, namun tak cukup satu hari. Karena tak cukup satu hari, maka alat pengeras suara wireless harus menginap di tukang las.

 Hari berikutnya, pengudud '76 datang lagi ke tukang las, untuk ambil rumah-rumahan kotak pengeras suara, yang direncanakan sudah rampung pengerjaannya. Tentu saja juga ambil pengeras suara wireless, yang jadi alat ukurnya. 
- Ketika datang, salah seorang tukang las yang mengerjakan, berujar, mengucapkan sebuah kalimat komentar kepada pengudud '76, 'Wah, lagunya bagus, nrenyuhaken.....!'.
+ Kalimat si tukang las, menimbulkan keheranan. Maka pengudud '76 tanya padanya, 'Napa pak...?'. 
- Jawabnya, 'Lagu, musik sing teng kaset, sae.... nrenyuhaken !'. 'Tadi malem tak putar, tak dengarkan.....', ujarnya.

Pernyataan komentar si tukang las, yang mengherankan menjadikan rasa penasaran. Lalu, pengudud '76 membuka pengeras suara wireless, di bagian tape recordernya. Ternyata di sana, ada sebuah kaset gregorian, terbitan PML Yogyakarta. Label kasetnya, 'Requiem'. Sebuah kaset berisi kumpulan lagu gregorian, yang terbawa sesudah dipakai untuk liturgi berkat jenazah di rumah duka Adi-guna. Kaset itu tetap di tempatnya, ketika peng-udud '76 lupa mengambilnya sesudah acara berkat kematian selesai. 

Seorang tukang las, tidak beriman katolik, bisa merasakan ke-indah-an lagu gregorian. Apalagi, ........
Selamat memuji Tuhan, dengan memakai lagu-lagu gregorian.

Syalom. Wilujeng wengi. Rahayu.
Wasalam:
agung pralebda

Jumat, Februari 19, 2010

Pe-nulis

Belakangan, dunia tulis-menulis sedang maraknya. Banyak kursus jurnalistik diselenggarakan. Banyak lomba menulis dan mengarang juga diadakan. Menjadi kian semarak ketika beberapa penulis muda, seperti mendapat durian runtuh ketika tulisannya diangkat ke layar lebar, menjadi sebuah film. Apalagi film itu laris manis. Ambil contoh, film "Laskar Pelangi'. Film yang diangkat dari sebuah novel itu, menjadikan si penulis mendapatkan honor ratusan-juta-rupiah.

Tapi ternyata tak mudah juga menulis. Dari sekian banyak, hanya beberapa saja, yang karyanya diminati oleh publik. Namun demikian, tak ada jeleknya, orang mengekspresikan pengalaman atau ide-idenya dalam bentuk tulisan. Secara psikologis, ekspresi tertulis bisa menyehatkan jiwa orang. Apalagi jika tulisan itu bisa dirasakan nilai kemanfaatannya oleh orang lain.

1. Seorang Pak Guru, Petrus namanya. Tinggalnya di Desa Jurangbahas, barat Wangon. Dia memelihara dua ekor sapi. Sapi-sapi itu tiap hari mengeluarkan 'lethong', atau kotoran sapi. Ternyata, kotoran sapi Pak Guru Petrus, laris. Tiap hari ada orang yang memintanya. Sehingga tak perlu membersihkan sendiri. Kotoran sapi itu diminta oleh seorang petani, yang juga aparat kalurahan desa. Oleh Pak tani, kotoran sapi diolahnya menjadi pupuk organik. Pupuk organik buatannya, dipakai untuk menyuburkan tanaman padi di sawah. Dengan demikian, pembelian pupuk kimia, bisa dikurangi.
          Pak Tani, yang juga aparat desa, makin hari makin trampil buat pupuk organik, setelah ikut kursus pertanian sehat. Oleh Pak Guru Petrus, direkomendasikan Si Pak tani ikut kursus pertanian sehat di Kota Salatiga. Kursus bisa berlangsung, berkat Gereja membantu biaya pelatihannya. 

2. Suatu sore, pengudud '76, mendatangi Rumah Pak Guru Petrus untuk melihat, kotoran sapi dan pengelolaanya. Sayang ketika itu Pak Guru sedang pergi kondangan. Yang di rumah, adalah anaknya. Seorang gadis, namanya Satya. Ternyata, Satya bukan gadis biasa, melainkan istimewa. Dia adalah pemenang lomba penulisan yang diadakan oleh Komsos Keuskupan Purwokerto. Dari omong-bicara sambil menunggu bapaknya, dia cerita pengalamannya. Sekolahnya, kini di Univ Sanata Dharma. Jurusan farmasi. Sebelumnya, sekolah model asrama di SMA Van Lith. Kemampuannya tulis menulis, didapatkannya ketika mengenyam pendidikan di sana. 
        Dia menulis tentang arsip gereja. Dia melihat sebuah fakta, yakni kondisi pengarsipan gereja. Diperih-hatin-kannya, arsip gereja mudah lapuk. Karena terbuat dari kertas. Dia ber-ideal, alangkah bagusnya, jika arsip gereja disimpan dalam model digital. Alias dikomputerisasi. Maka karangannyapun diberi judul,  'Buku Induk Paroki Lapuk? Gunakan Database Internet donk!'. Judul ini, yang menjadi ide-sarannya. Alias solusi yang dia usulkan.
      Dari cerita Satya berproses menulis, jika dirinci, ada empat hal yang menjadi langkah-langkahnya. Pertama, fakta. Kedua, idealitas. Ketiga, keprihatinan. Keempat, ide-solusi atas fakta yang memprihatinkan.  

3. Sebuah malam, sekitar jam 23-nan, peng-udud '76 mendengarkan radio. RRI-Pro 3, sedang mengudarakan siarannya. Yang disiarkan adalah peristiwa aktualita. Yang sedang aktual, adalah ada seorang anak gadis Indonesia, tulisannya mendapat penghargaan 'International Unicef Award'.  Sesudah berita, dilanjutkan dengan wawancara dengan si penulis.  
      Si penulis yang menjadi pemenang, ternyata adalah Gabriela. Dia masih berstatus sebagai pelajar SMA St. Maria Cirebon. Duduk di klas II. Malam itu dia sedang di perjalanan. Berkat alat komunikasi Hp, penyiar RRI, malam itu berhasil mewawancarainya. Diceritakannya oleh Gabriela, sejarah hidupnya, hingga bisa menjadi penulis handal. Sampai bisa dapat penghargaan internasional. 
     Kesukaannya menulis dimulai sejak SD. Mula-mula dia senang buat puisi. Lalu berkembang menjadi prosa, Cerpen. Lalu kisah naratif, dsb. Dia memanfaatkan secara sungguh-sungguh bimbingan jurnalistik yang diadakan oleh sekolahnya. Dua orang guru Bhs Indonesia, dikatakan, amat besar jasanya.  
     Tulisan yang memenangi lomba tingkat internasional itu, berkisah tentang Pemilu. Saat itu, Pemilu legislatif sedang amat semaraknya. Gabriela mengalami sebuah fakta, para caleg mengadakan kampanye. Mengutarakan janji-janji. Sayang, kata banyak orang, janji-janji itu kerap tak ditepati. Janji, tinggal janji. Itulah keprihatinan hati Gabriela.  Berangkat dari rasa prihatin itulah, Gabriela punya gambaran, sebuah ide. Gambaran ide yang muncul, berupa figur seorang Caleg yang bijak. Caleg yang bijak, adalah yang betul-betul pro rakyat. Perjuangannya dilandasi semangat 'dari rakyat, untuk rakyat'.
     Ide tulisan Gabriela munculnya, unik. Dikisahkannya, suatu malam, sekitar jam 3 pagi, dirinya terbangun. Karena masih malam, ingin tidur lagi. Tapi mata tak bisa terpejam. Lalu ia berdoa, agak cukup lama. Sesudah doa dia tertidur. Namun kemudian terbangun lagi. Ketika bangun inilah, ide tentang caleg yang bijak itu muncul. Di siang hari, ide itu dituangkannya dalam bentuk tulisan. Lalu dikirimkan dalam lomba penulisan internasional. Dan, ternyata lalu menang. 
     Mendengar narasi Gabriela bagaimana ia menulis, ada pola yang sama dengan yang dibuat Satya, yakni melewati langkah-langkah. Sekurang-kurangnya, ada empat langkah: Fakta, idealitas, keprihatinan, ide solutif. 

Output dari penulisan ide, terasa manfaatnya bagi sesama. Satya, dari penulisannya mendapat hadiah uang satu juta. Digunakannya uang itu, tujuhratuslimapuluhribu untuk beli TV. Digunakan sebagai sarana media di kost-kosannya. Sisanya, duaratuslimapuluhribu, disumbangkan pada paguyuban mahasiswa-mahasiswi Purwokerto, yang kuliah di Yogya. 
     Gabriela, tulisannya tentang Caleg yang bijak, dibaca banyak orang. Ada pesan moral di dalamnya. Sekolahnya, bangga. Suster OP Purwokerto juga besar hatinya, karena sekolah Gabriela di SMA St. Maria. Sekolalah dibawah asuhan Yayasan St Dominikus.

Seorang remaja, numpang Kijang hijau dinas. Dia kerap baca tulisan di Blog 'Lelaku'. Lalu minta diajari bisa nulis. Pengudud '76, tak bisa banyak ngajari, kecuali bilang, ikut empat langkah. Seperti langkah-langkah Satya & Gabriela, dalam menulis. 

Selamat menulis.
Syalom. Wilujeng wengi. Rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-

Jumat, Februari 12, 2010

Jarik

Jarik adalah kain. Biasa dihiasi dengan motif batik. Menjadi kain batik.  Ukurannya standart. Lembaran kain yang disebut jarik, banyak dipakai oleh kaum wanita. Para wanita Jawa, wanita Sumatra, Wanita Tionghoa, waktu-waktu yang lalu kerap terlihat memakainya. 

Yang pasti kain jarik, berkaitan dekat dengan wanita. Tak langsung berhubungan dengan pria. Apalagi pria yang berkaul selibat. Bagi kaum selibater pria,  urusan jarik adalah urusan jauh di sana. Alasanya, pria selibat tak  berkoneksi sexual dengan wanita. Maka boleh dikata, urusan jarik termasuk kategori 'tabu'. Jika memaksa diri masuk dalam urusan itu, bisa berbahaya. Bisa tersandung oleh urusan asmara. 

1. Tapi, itu bukan dogma. Bukan pula hukum, atau pedoman berharga mati. Bisa lihat-lihat duduk & perkaranya. Ketika melayani stasi-stasi di kawasan  Cilacap, tak terbayangkan, pengudud '76 terpaksa berurusan dengan yang disebut jarik. 
Sebuah stasi berjarak limapuluhan kilometer dari kota Cilacap, namanya Bugel. Di antara umat, peserta rajin ekaristi, adalah ibu-ibu berpakaian pasangan jarik-kebaya. Ada enam jumlahnya. Pada pertemuan sampai yang ketiga, ada seorang ibu, jika ikut ekaristi jariknya tetap. Alias tak ganti yang lain. Mungkin itu yang terbaik. Atau di antara jarik yang lain, kondisinya juga sama. Warnanya kusam. Malah dua kali terlihat ketika ikut ekaristi jarik yang dipakai tak hanya kusam, melainkan malah juga ada bolongnya. Dus jariknya bolong. 

Mensitir istilah dari Kitab Suci, lihat kondisi demikian, pengudud '76, ketika itu jadi tergerak hatinya. Tergerak oleh belas kasihan. Oleh karena itu, maka di sebuah hari Sabtu, trail-mot-nas meluncur ke Toko Peni, di Purwokerto. Tujuannya untuk beli jarik. Tentu saja sesudah cari literatur, tanya pada beberapa wanita yang tahu soal per-jarik-an. Dengan uang yang diperoleh dari seorang donatur, peng-udud '76 beli sepuluh lembar kain jarik. Esok hari, dibawa ke stasi tersebut, lalu dibagikan pada ibu-ibu yang rajin ikut ekaristi. Masing-masing dapat satu lembar kain batik. Senang kelihatan mereka menerimanya. Minggu kemudian, pada sebuah ekaristi, kelihatan membanggakan, beberapa ibu memakai jarik baru. Pengudud '76 masih hapal, itu yang dulu dipilihnya di toko Peni.

2. Rupanya kasus serupa terjadi lagi di Purwokerto. Beberapa waktu lalu, seorang Ibu tua ikut mobil dinas kijang hijau, untuk ekaristi arwah di Jatilawang. Pakaiannya, model jarik kebaya. Mungkin begitu sederhananya, kain batik yang dikenakannya berwarna tak cemerlang lagi, alias kusam. Kebayaknya, biasanya tentu ada benik-benik pengancing. Tapi kebaya si ibu tua, tak berbenik lagi. Untuk mengkaitkannya, dipakailah tiga peniti besar-besar.  Habis ekaristi, seorang umat berwibawa bisik-bisik pada pengudud '76, 'Romo, kalau ada duit, si ibu itu apa bisa dibelikan pakaian jarik-kebaya....?!'.

3. Tiga hari sesudah itu, seorang umat menemui peng-udud '76. Kehadirannya tak ternyana. Dia bawa amplop. Katanya, hadiah natal untuk romo. Meski bulannya, sudah Februari. Ketika dibuka, isinya duit. 
Seperti durian runtuh, jika hendak diperibahasakan. Maka, ketika sesudah pos-yan-du di Sts Kaliwedi, pengudud '76 mengajak ibu-ibu WK, pelaksana pos-yan-du, mampir pasar sampang. Mereka bantu pilihkan pengudud '76, beli pakaian jarik-kebaya.

Jarik-kebaya didapat, segera mampir ke rumah ibu tua. Diserahkanya, satu set pakaian bergaya jarik-kebaya. Reaksinya, si ibu-tua senang gembira, tertangkap dari raut mukanya.

'Tergerak oleh belas kasihan', adalah sebuah pernyataan. Nyaring & indah bunyinya.
Menjadi lebih indah lagi, ketika itu di-terapkan, dalam pelaksanaan. 

Syalom. Wilujeng wengi. Rahayu.
Wasalam:
agung pralebda

Senin, Februari 01, 2010

Jagading Lelembut III

Sebuah malam, jam sepuluhan, seorang bapak, dengan seorang anak remaja, datang ke pastoran. Menemui pengudud '76. Kedatangannya dalam suasana keprihatinan. Batinnya sedih, prihatin, perih ing batin. Itu terjadi karena dua anaknya.  Anak bungsu, dan kakak bungsu sudah tiga hari kesurupan. Yang satu usia 'TK'. Yang kakaknya, klas 5 SDN. 

Setiap saat, anak itu berteriak-teriak kesakitan. Yang dikeluhkan perutnya. Perutnya sakit. Anehnya, kesurupannya bergantian. Jika yang satu kesurupan, yang satu tertidur. Begitu yang tertidur bangun, gentian kesurupan. Demikian sebaliknya. 

Hari minggu sudah diperiksakan ke dokter di BP Provita. Dokter mengatakan, tak ada yang tak beres. Secara ilmu medis, semua organ ok. Tak selesai atas pemeriksaan pertama, diupayakan periksa dokter umum yang lain, di keesokan harinya. Ketika didiagnosa, hasilnya sama. Secara medis, organ fisik, semua ok. 

Atas langkah-langkah ketidakberhasilan mengobatkan anak-anak kesayangannya itulah, si Bapak datang menuju pastoran.  Mohon tolong dicarikan solusi. Agar anak-anaknya bisa sembuh, kembali sehat.

1. Peng-udud '76 bukanlah seorang tabib. Bukan pula seorang 'pintar' yang tahu 'ngerti sakdurunge winarah'. Bukan pula ahli nujum. Tetapi realita yang dihadapi, macem-macem adanya. Aneh-aneh, tidak ketemu nalar.
2. Berbekal kemauan baik, dan tentu berbekal iman akan Tuhan Penguasa Alam, berangkatlah pengudud '76 ke rumah Bapak, yang anaknya kesurupan. Jam sebelasan malam, ternyata suasana-nya memang mencekam. Si anak bungsu meraung-raung, berteriak, bergerak mengguling-guling di tikar, berputar-putar. Sekali-sekali kakinya menjejak dinding. Ibunya bingung, menenangkan si anak. Keluhan si anak, selalu perutnya. Sambil memegang perut bagian lambung, si anak bilang 'Sakit......, sakit.........., sakit........!'. Tolong.... ma, tolong....ma.'.
3. Melihat 'si-kon' demikian, pengudud '76 berdiam. Tak bisa apa-apa, kecuali berdoa. Dua puluh menit mencoba berdoa, mohon kekuatan pada Tuhan, Sang penguasa alam. Sesudah itu mendekat pada si anak. Diajaknya salaman. Meronta. Dipegangnya kepala. Disorotnya mata si anak, tajam-tajam. Apakah ada gejala tak biasa. 
Diraba, perut si anak, bagian lambung. Terasa 'mrengkel'. Seperti ada sebuah tali menggumpal, tapi di bagian dalam, di bawah kulit. Rabaan dihentikan pada bagian yang 'mrengkel' untuk beberapa saat. 
Ketika, si anak menurun ronta-rontanya, diajaknya berdoa bersama. Sambil mengelilingi anak, duduk bersila, Si bapak, si Ibu, si Remaja-kakaknya, bersama berdoa. Didahului doa spontan. Dilanjutkan dengan doa sepuluh kali Bapa-Kami. Diucapkan di mulut, dengan ucapan dan kemantapan. Perlahan-lahan. Bersama-sama. Mendekati doa Bapa-kami ke sembilan si anak terkulail. Dia tertidur. 

4. Setelah suasana tenang, pesan disampaikan pada si bapak. Diusahakan TV, tak banyak diputar. Diusahakan tata ruang, obat-obatan, uba-rampe menjadi rapi, nyaman.  Jam duabelas malam, bangun, doa Bapakami, sepuluh kali. Didoakan, diucapkan, dengan kemantapan iman. Esok pagi jam lima, buat hal yang sama. Doakan juga, orang-orang yang 'dirasa' punya soal dengan anggota keluarga ini. Jangan pandang sebagai lawan seteru. Jangan pandang sebagai musuh. Namun, pandanglah sebagai sesama, yang harus didoakan. 

5. Habis berpesan-pesan, pengudud '76 pamit pulang. Sambil ninggali dua buku skrip & dua jeruk untuk si anak. 

Pulang sampai di rumah, buka KS, persiapan untuk bacaan esok hari. Ternyata, temanya tak jauh dari realita, Tuhan Yesus, menghadapi orang-orang yang sedang kesurupan. Dan dia bisa menyembuhkannya dengan kewibawaanNya. 

Selamat menghayati kewibawaan Tuhan. 
Syalom. Wilujeng wengi. Rahayu-rahayu-rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-