Jumat, Februari 12, 2010

Jarik

Jarik adalah kain. Biasa dihiasi dengan motif batik. Menjadi kain batik.  Ukurannya standart. Lembaran kain yang disebut jarik, banyak dipakai oleh kaum wanita. Para wanita Jawa, wanita Sumatra, Wanita Tionghoa, waktu-waktu yang lalu kerap terlihat memakainya. 

Yang pasti kain jarik, berkaitan dekat dengan wanita. Tak langsung berhubungan dengan pria. Apalagi pria yang berkaul selibat. Bagi kaum selibater pria,  urusan jarik adalah urusan jauh di sana. Alasanya, pria selibat tak  berkoneksi sexual dengan wanita. Maka boleh dikata, urusan jarik termasuk kategori 'tabu'. Jika memaksa diri masuk dalam urusan itu, bisa berbahaya. Bisa tersandung oleh urusan asmara. 

1. Tapi, itu bukan dogma. Bukan pula hukum, atau pedoman berharga mati. Bisa lihat-lihat duduk & perkaranya. Ketika melayani stasi-stasi di kawasan  Cilacap, tak terbayangkan, pengudud '76 terpaksa berurusan dengan yang disebut jarik. 
Sebuah stasi berjarak limapuluhan kilometer dari kota Cilacap, namanya Bugel. Di antara umat, peserta rajin ekaristi, adalah ibu-ibu berpakaian pasangan jarik-kebaya. Ada enam jumlahnya. Pada pertemuan sampai yang ketiga, ada seorang ibu, jika ikut ekaristi jariknya tetap. Alias tak ganti yang lain. Mungkin itu yang terbaik. Atau di antara jarik yang lain, kondisinya juga sama. Warnanya kusam. Malah dua kali terlihat ketika ikut ekaristi jarik yang dipakai tak hanya kusam, melainkan malah juga ada bolongnya. Dus jariknya bolong. 

Mensitir istilah dari Kitab Suci, lihat kondisi demikian, pengudud '76, ketika itu jadi tergerak hatinya. Tergerak oleh belas kasihan. Oleh karena itu, maka di sebuah hari Sabtu, trail-mot-nas meluncur ke Toko Peni, di Purwokerto. Tujuannya untuk beli jarik. Tentu saja sesudah cari literatur, tanya pada beberapa wanita yang tahu soal per-jarik-an. Dengan uang yang diperoleh dari seorang donatur, peng-udud '76 beli sepuluh lembar kain jarik. Esok hari, dibawa ke stasi tersebut, lalu dibagikan pada ibu-ibu yang rajin ikut ekaristi. Masing-masing dapat satu lembar kain batik. Senang kelihatan mereka menerimanya. Minggu kemudian, pada sebuah ekaristi, kelihatan membanggakan, beberapa ibu memakai jarik baru. Pengudud '76 masih hapal, itu yang dulu dipilihnya di toko Peni.

2. Rupanya kasus serupa terjadi lagi di Purwokerto. Beberapa waktu lalu, seorang Ibu tua ikut mobil dinas kijang hijau, untuk ekaristi arwah di Jatilawang. Pakaiannya, model jarik kebaya. Mungkin begitu sederhananya, kain batik yang dikenakannya berwarna tak cemerlang lagi, alias kusam. Kebayaknya, biasanya tentu ada benik-benik pengancing. Tapi kebaya si ibu tua, tak berbenik lagi. Untuk mengkaitkannya, dipakailah tiga peniti besar-besar.  Habis ekaristi, seorang umat berwibawa bisik-bisik pada pengudud '76, 'Romo, kalau ada duit, si ibu itu apa bisa dibelikan pakaian jarik-kebaya....?!'.

3. Tiga hari sesudah itu, seorang umat menemui peng-udud '76. Kehadirannya tak ternyana. Dia bawa amplop. Katanya, hadiah natal untuk romo. Meski bulannya, sudah Februari. Ketika dibuka, isinya duit. 
Seperti durian runtuh, jika hendak diperibahasakan. Maka, ketika sesudah pos-yan-du di Sts Kaliwedi, pengudud '76 mengajak ibu-ibu WK, pelaksana pos-yan-du, mampir pasar sampang. Mereka bantu pilihkan pengudud '76, beli pakaian jarik-kebaya.

Jarik-kebaya didapat, segera mampir ke rumah ibu tua. Diserahkanya, satu set pakaian bergaya jarik-kebaya. Reaksinya, si ibu-tua senang gembira, tertangkap dari raut mukanya.

'Tergerak oleh belas kasihan', adalah sebuah pernyataan. Nyaring & indah bunyinya.
Menjadi lebih indah lagi, ketika itu di-terapkan, dalam pelaksanaan. 

Syalom. Wilujeng wengi. Rahayu.
Wasalam:
agung pralebda

Tidak ada komentar: