'Bendrong Kulon'
Manungsa titahing Allah, ditinggal pada abote.
Dudu lemah, dudu omah, sing dibiji mung pribadine.
Sunda, Jawa, lan Madura, lanang wadon ora beda.
Wajib jaga, wajib ngreksa, age bareng bangun negara.
Tepa slira, among rasa, dijiwit pada larane.
Sapa ingsun, sapa sira, golet cara murih becike.
Wedi salah, wani bener, manungsa pada ngrasane.
Ora bodho, ora pinter, sing diluru kejujurane.
Senadyanta sejen bangsa, tukar kawruh sing miguna.
Jaga diri, jaga asma, Nusa-bangsa aja nggo srana.
Sesrawungan sing miguna, aja nganggo bab sing ala.
Wani njaga, wani mbela, supaya uripe mulya.
Sudah 4 lagu, dipelajari oleh para peminat seni banyumasan, dalam bermusik Chalung:
1. Manyar-Sewu, 2. Ricik-ricik, 3. Eling-eling, dan 4. Bendrong Kulon.
Ber-enam, mereka berusaha menyuarakan seni suara instrumen tradisional itu. Tak mudah memang. Tak mudahnya, karena 6 orang tak bisa serentak berlatih bersama secara rutin. Ada saja satu atau dua yang berhalangan. Ada yang karena kondangan. Ada pula yang berhalangan karena melayani majikannya yang sedang sakit. Sebagai jalan pintas, pendamping-pun turun tangan menjadi penabuh instrumen. Entah jadi pen-nge-gong, kadang pula jadi pen-demung. Tentu saja dengan keterbatasannya.
Beberapa orang mulai tahu, bahwa ada proses belajar musik tradisionil jenis chalung itu. Seseorang kemudian memberi tahu, "di Paroki ini, ada juga kelompok kulinthang lho". Maka tiga hari lalu, Kijang Hijau dinas meluncur memonitor sekelompok wanita, yang berlatih lagu-lagu kolinthang. Dua hari kemudian, ada umat cerita, memberi tahu, "di lingkungan itu, ada kelompok kroncong lho...." Lha, ternyata, ada potensi-potensi tak kentara yang ada.
Kelompok Kolinthang, sudah tiga lagu liturgi dikuasai. Tinggal nambah dua, untuk mereka bisa mengiringi perayaan liturgis ekaristi. Minggu lalu sudah dishoting pula oleh kameramen TV-lokal Banyumas. Menariknya kelompok wanita itu, ada pemusik, yang berkeyakinan GKJ, ada pula yang Moslem. Musik, ternyata bisa menyatukan berbagai saudara beda keyakinan, yang kerap kali disekat-sekatkan.
Jika dihitung-tung, ada warna-warni jenis musik yang bisa dipakai untuk memuliakan Allah, di seputar Purwokerto: Organ klasik, karawitan logam, Chalung-banyumasan, keroncong, dan kolinthang. Ada pula ensemble anak-anak. Bukankah ini potensi besar.
Sebuah paroki di Yogyakarta, menjadwalkan secara periodik & kontinyu, kelompok-kelompok musik etnis. Mereka diberi tugas melayani, mengiringi liturgi ekaristi. Ada gaya nasional, ada Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Flores, Nias, papua. Dan buahnya, gereja menjadi semarak, bergairah.
Rasanya, potensi-potensi musikal ini, bisa menjadi tantangan. Bukan tantangan untuk perang. Melainkan tantangan untuk memuji Allah dengan lebih optimal, dan maksimal.
Cantate bis orat. Menyanyi itu, dua kali berdoa.
Selamat memuji Allah, dengan meng-optimal-kan potensi-potensi yang ada.
Syalom. Wilujeng. Rahayu.
Wasalam:
-agung pypm-
Manungsa titahing Allah, ditinggal pada abote.
Dudu lemah, dudu omah, sing dibiji mung pribadine.
Sunda, Jawa, lan Madura, lanang wadon ora beda.
Wajib jaga, wajib ngreksa, age bareng bangun negara.
Tepa slira, among rasa, dijiwit pada larane.
Sapa ingsun, sapa sira, golet cara murih becike.
Wedi salah, wani bener, manungsa pada ngrasane.
Ora bodho, ora pinter, sing diluru kejujurane.
Senadyanta sejen bangsa, tukar kawruh sing miguna.
Jaga diri, jaga asma, Nusa-bangsa aja nggo srana.
Sesrawungan sing miguna, aja nganggo bab sing ala.
Wani njaga, wani mbela, supaya uripe mulya.
Sudah 4 lagu, dipelajari oleh para peminat seni banyumasan, dalam bermusik Chalung:
1. Manyar-Sewu, 2. Ricik-ricik, 3. Eling-eling, dan 4. Bendrong Kulon.
Ber-enam, mereka berusaha menyuarakan seni suara instrumen tradisional itu. Tak mudah memang. Tak mudahnya, karena 6 orang tak bisa serentak berlatih bersama secara rutin. Ada saja satu atau dua yang berhalangan. Ada yang karena kondangan. Ada pula yang berhalangan karena melayani majikannya yang sedang sakit. Sebagai jalan pintas, pendamping-pun turun tangan menjadi penabuh instrumen. Entah jadi pen-nge-gong, kadang pula jadi pen-demung. Tentu saja dengan keterbatasannya.
Beberapa orang mulai tahu, bahwa ada proses belajar musik tradisionil jenis chalung itu. Seseorang kemudian memberi tahu, "di Paroki ini, ada juga kelompok kulinthang lho". Maka tiga hari lalu, Kijang Hijau dinas meluncur memonitor sekelompok wanita, yang berlatih lagu-lagu kolinthang. Dua hari kemudian, ada umat cerita, memberi tahu, "di lingkungan itu, ada kelompok kroncong lho...." Lha, ternyata, ada potensi-potensi tak kentara yang ada.
Kelompok Kolinthang, sudah tiga lagu liturgi dikuasai. Tinggal nambah dua, untuk mereka bisa mengiringi perayaan liturgis ekaristi. Minggu lalu sudah dishoting pula oleh kameramen TV-lokal Banyumas. Menariknya kelompok wanita itu, ada pemusik, yang berkeyakinan GKJ, ada pula yang Moslem. Musik, ternyata bisa menyatukan berbagai saudara beda keyakinan, yang kerap kali disekat-sekatkan.
Jika dihitung-tung, ada warna-warni jenis musik yang bisa dipakai untuk memuliakan Allah, di seputar Purwokerto: Organ klasik, karawitan logam, Chalung-banyumasan, keroncong, dan kolinthang. Ada pula ensemble anak-anak. Bukankah ini potensi besar.
Sebuah paroki di Yogyakarta, menjadwalkan secara periodik & kontinyu, kelompok-kelompok musik etnis. Mereka diberi tugas melayani, mengiringi liturgi ekaristi. Ada gaya nasional, ada Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Flores, Nias, papua. Dan buahnya, gereja menjadi semarak, bergairah.
Rasanya, potensi-potensi musikal ini, bisa menjadi tantangan. Bukan tantangan untuk perang. Melainkan tantangan untuk memuji Allah dengan lebih optimal, dan maksimal.
Cantate bis orat. Menyanyi itu, dua kali berdoa.
Selamat memuji Allah, dengan meng-optimal-kan potensi-potensi yang ada.
Syalom. Wilujeng. Rahayu.
Wasalam:
-agung pypm-