1. Seorang perempuan, tidak berminat bersuami. Setelah ditelusuri scr detail, ternyata ketika usia gadis kecil, pernah melihat ibunya dipukul oleh bapaknya. Pengalaman ini jadi trauma-jiwa. Sejak itu, dia kehilangan figur 'Bapa'. Perempuan itu, kini telah jadi rohaniwati, namun sekian lama batinnya terbelenggu. Tak punya gambaran indah tentang 'bapak', tentang laki-laki yang gentle, gagah-satria. Figur yang tertanam, adalah, laki-laki itu kejam, tak ber-perasa-an.
Seorang pemuda, jika berdoa, tak pernah bisa menyebut Tuhan-Allah itu dengan kata 'Bapa'. Setelah ditelusuri scr rinci, ketika usia anak-anak, dia kerap ditinggal oleh bapaknya pergi. Dan ketika pulang, bapaknya kerap menghukuminya, dengan pukulan, jika terjadi kesalahan. Semakin tambah usia, bapaknya pergi dan hidup dengan wanita lain. Dengan ibunya, dia ditinggalkan begitu saja. Pemuda itu kehilangan figur, tentang 'Bapak' yang baik. Maka, tak mampu berdoa dengan sebutan Allah sebagai 'Bapa'.
Seorang rohaniwan berkisah, ada imam, senang jika ada anak kecil menggemaskan. Lalu menggendongnya, dan minta dicium oleh anak itu. Bahkan jika anak kecil itu menginjak remaja. Pertanyaan psikologis-teologis nya, siapa yang butuh atas ciuman itu. Si anak, atau si 'imam'. Bisa jadi ada kebutuhan afeksi yang mendorong untuk selalu dipenuhi. Maka lalu selalu ada kehendak untuk mencium anak kecil. Sebuah aktivitas yang kelihatannya, bersifat amal soleh, namun di belakangnya kemungkinan ada faktor lain yang melatarbelakanginya.
2. Dari Kitab Suci, Kej 1 & 2, dikisahkan bahwa Allah menciptakan tubuh baik adanya. Baik tubuh pria, maupun wanita, mencerminkan pikiran Allah, sebagai citra Allah. Maka sejak awalnya, tubuh pria & wanita adalah indah & elok adanya. Tubuh manusia menjadi tidak mencerminkan 'gambaran Allah', ketika terjadi tindakan 'narsis'. Atau penyimpangan. Di manakah & kapan bentuk-bentuk penyimpangan itu terjadi. Di sinilah, refleksi teologi tubuh main peranan. Sexual-abuse, atau pelecehan sexual, kadang terjadi tak kentara, bahkan dalam skala amat kecil. Namun betapa kecilpun skalanya, selalu ada efek bagi korban. Apalagi jika si pelaku ber-statutus rohaniwan, yang nota bene punya power, atau kuasa.
Maka sexual abuse, sebenarnya juga bentuk dari ketidak seimbangan kuasa. Ada kuasa yang lebih lemah, tak mampu menghadapi kuasa lain yang lebih kuat.
3. Refleksi Teologi Tubuh, membantu orang, terutama rohaniwan-rohaniwati, untuk menyadari sejak kapan, dan dalam peristiwa apa saja, didapat perlakuan yang bersifat sexual abuse. Dibantu, dengan refleksi teologis, ilmu kedokteran, dan psikologi, diharap orang menyadari dan lalu bisa menempatkan peristiwa-peristiwa secara sehat dalam hidupnyan. Arahnya, orang bisa hidup optimal, terbebaskan dari pengalaman traumatis yang menjadi luka-luka batin membelenggu. Terutama berkaitan dengan hidup sexual.
Lewat analisis, doa, sakramen pengakuan dosa, dan peribadatan, peserta diajak ke arah gambaran 'Bapa' yang otentik, yang alkitabiah. Bukan 'bapa' yang menakutkan, yang kejam. Di sini, gambaran tentang Allah, sebagai 'Bapa' dipulihkan. Kerap gambaran ttg bapa, teracuni oleh pengalaman-pengalaman yang berwarna sexual abuse, di masa kecil.
Selamat menghayati gambaran Allah sebagai Bapa. Bapa yang sesungguhnya. Bukan bapa, yang teracuni oleh kuasa kegelapan.
Syalom. Wilujeng. Rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar