Seorang arsitek menekankan dua hal amat penting dalam mendirikan bangunan. Dua hal itu, pertama, sirkulasi udara. Kedua, tata suara. Pengalaman beberapa pelayan umat, jika memimpin upacara peribadatan di Sts Genthawangi, adalah terasa capek. Kecapaian diakibatkan harus omong keras, alias berteriak. Di ruangan kapel, pondok doa yang relatif besar.
Untuk mengatasinya, dan untuk meng-optimalkan kekusukan peribadatan, dibantulah oleh paroki induk, sebuah pengeras suara model 'wireless'. Tetapi kreativitas umat perihal itu, masih kurang. Jika tak dikomando, tak ada yang inisiatif pasang alat itu. Jadi tetap di 'dos' saja. Peng-udud '76 tiap kali mau pimpin ibadat, mesti pasang alat itu, dengan kabel-kabelnya. Baru ada umat yang bergerak bantu. Tetapi untuk pemimpin ibadat yang lain, tak selalu tahu, bahwa harus begitu.
Agar, liturgi menjadi menarik, peminpin tak kecapaian, suara jelas terdengar, pengudud '76 mencoba mengatasinya lagi. Pengeras suara model 'wireless', hendak dipasang permanen di dinding kapel. Dengan begitu, jika akan digunakan siapa saja, tinggal tekan tombol 'on'. Atau sekurang-kurangnya, tinggal pula pasang mic. Realisasi pertama adalah membuat dudukan pengeras suara itu, agar bisa ditempel di dinding. Kedua, supaya aman, dibuat dudukan semacam kotak pelindung, di mana ada gemboknya. Kotak pelindung sekaligus dudukan itu dibuat dari besi.
Sebuah siang chevrolet-Luv, pergi ke toko besi. Beli besi siku untuk kepentingan gereja. Dari sana, dibawalah besi-besi itu ke tukang Las. Oleh tukang las, panjang & lebar, serta tinggi diukur. Guna peng-ukurannya, maka alat wireless dibawa juga ke tukang las. Proses berlanjut, namun tak cukup satu hari. Karena tak cukup satu hari, maka alat pengeras suara wireless harus menginap di tukang las.
Hari berikutnya, pengudud '76 datang lagi ke tukang las, untuk ambil rumah-rumahan kotak pengeras suara, yang direncanakan sudah rampung pengerjaannya. Tentu saja juga ambil pengeras suara wireless, yang jadi alat ukurnya.
- Ketika datang, salah seorang tukang las yang mengerjakan, berujar, mengucapkan sebuah kalimat komentar kepada pengudud '76, 'Wah, lagunya bagus, nrenyuhaken.....!'.
+ Kalimat si tukang las, menimbulkan keheranan. Maka pengudud '76 tanya padanya, 'Napa pak...?'.
- Jawabnya, 'Lagu, musik sing teng kaset, sae.... nrenyuhaken !'. 'Tadi malem tak putar, tak dengarkan.....', ujarnya.
- Ketika datang, salah seorang tukang las yang mengerjakan, berujar, mengucapkan sebuah kalimat komentar kepada pengudud '76, 'Wah, lagunya bagus, nrenyuhaken.....!'.
+ Kalimat si tukang las, menimbulkan keheranan. Maka pengudud '76 tanya padanya, 'Napa pak...?'.
- Jawabnya, 'Lagu, musik sing teng kaset, sae.... nrenyuhaken !'. 'Tadi malem tak putar, tak dengarkan.....', ujarnya.
Pernyataan komentar si tukang las, yang mengherankan menjadikan rasa penasaran. Lalu, pengudud '76 membuka pengeras suara wireless, di bagian tape recordernya. Ternyata di sana, ada sebuah kaset gregorian, terbitan PML Yogyakarta. Label kasetnya, 'Requiem'. Sebuah kaset berisi kumpulan lagu gregorian, yang terbawa sesudah dipakai untuk liturgi berkat jenazah di rumah duka Adi-guna. Kaset itu tetap di tempatnya, ketika peng-udud '76 lupa mengambilnya sesudah acara berkat kematian selesai.
Seorang tukang las, tidak beriman katolik, bisa merasakan ke-indah-an lagu gregorian. Apalagi, ........
Selamat memuji Tuhan, dengan memakai lagu-lagu gregorian.
Syalom. Wilujeng wengi. Rahayu.
Wasalam:
agung pralebda