Senin, Juli 18, 2011

Managing The Nation

Stasiun TV Metro, seminggu sekali menayangkan acara tentang managemen. Judulnya, Managing The Nation. Pembawa acara, seorang bekas menteri, bernama 'Tanri Abeng'. Pola kerja acara itu, tak beda jauh dengan pola refleksi, Latihan Rohani St Ignasius. Biasanya, dihadirkan seorang pejabat publik. Keputusan-keputusan yang menyangkut publlik, dianalisa, dilihat dari prinsip-prinsip managemen. Kelebihannya, apa. Kekurangannya apa. Lalu apa yang bisa diteruskan, dan apa yang bisa dikembangkan.

Dalam kasanah ilmu managemen, ada unsur-unsur yang vital, guna kelangsungan sebuah organisasi, atau lembaga. Pertama, pasar atau masa. Kedua, produk. Ketiga, sistem. Keempat, human-resource, atau sumber-daya-manusia.

Sumber daya manusia yang handal, adalah faktor yang tak boleh dikesampingkan. Maka penting, untuk hal ini bekenaan dengan rekruitmen, pelatihan, dan gugus kendali mutu.

Era tahun delapan-puluhan, pernah berdiri paroki yang bernama Subah. Belakangan, turun status, jadi Stasi Subah. Kenapa bisa demikian, tentu ada faktor-faktor yang menyebabkannya.

Jika ditelisik, seperti cara analisa Managing The Nation, bisa terketahui hal dasar yang menjadikan paroki tersebut turun status. Ketika itu, aktivis-aktivis paroki terdiri dari para pegawai PTP, atau perkebunan-kehutanan. Berdasarkan kesaksian-kesaksian, mereka-mereka adalah orang yang rajin dan mau bekerja dalam pelayanan gereja. Beberapa di antara merekapun jabatannya tergolong tinggi. Inilah nilai unggul mereka, jadi pejabat, tentu punya kemampuan kerja. Perusahaan diuntungkan, Gereja juga diuntungkan.

Namun, ada rasa sayangnya. Sayangnya, mereka bertugas di suatu tempat tak begitu lama. Begitu perusahaan memutasi, pindahlah mereka itu. Efeknya, sebagi pengurus Gerejapun, akhirnya, harus berhenti, ketika masa bakti belum selesai. Dus, di sinilah terjadi ketidak-stabilan sumber-daya manusia. Maka kepengurusan yang stabil, membutuhkan orang-orang yang stabil. Ya kepribadiannya, ya tempat-kerjanya.

Kini, meski bukan paroki, Gereja Subah, tetap berdiri, berstatus sebagai stasi. Kepengurusan relatif stabil, karena orang-orangnya memang stabil: Pensiunan, guru, petani, perangkat desa. Mereka tak pindah-pindah, maka sebagai pondasi gereja, menjadi bisa diandalkan.

Supaya paroki hidup, ternyata juga butuh yang namanya Stabilitas.

Mari membangun Gereja yang stabil.

Syalom. Wilujeng. Rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-

    Rabu, Juli 06, 2011

    Saren

    Saren adalah darah. Darah dikentalkan. Kemudian, diberi garam dan digoreng. Enak rasanya. Tentu saja bukan darah manusia. Melainkan darah binatang: ayam, atau sapi, atau kerbau. Saren menjadi lauk pauk yang murah dan bergizi bagi sebagian kalangan orang. Namun  bagi kalangan penganut agama tertentu, saren haram hukumnya untuk dimakan.

    Pengudud '76 senang makan nasi berlaukkan saren. Entah saren apa saja. Apalagi jika masih baru dan hangat, barusan diangkat dari penggorengan wajan. Suatu siang, pengudud 76 'ngopi' di sebuah kedai, di tepian pasar. Ketika pesan kopi, melihat saren di piring. Karena tertarik, lalu pesan sepiring nasi. Dimakan dengan lauk saren. Enak. Belum habis sepotong saren, datang seorang pemulung. Karena pas waktu makan siang, dia pesan nasi pula. Karena ada saren, lalu diambilnya pula saren dari piring sajian, ke piring nasi untuk dimakan. Penikmat kopi yang lain, ada tiga orang lain lagi: Sopir truk sampah, karyawan bengkel, dan petugas kebersihan super-market.

    Ketika pemulung ambil saren, ada yang menarik. Saat tangan meletakkannya di atas nasi, dia sambil berkata: 'Ora mlebu swarga, yoben....... Saren enak kaya ngene, kok jare haram. Marahi ora mlebu swarga. Sing ngomong sapa.....?' Kemudian dia masih nambahi komentar, 'Sing haram ta, sing metu seka cangkem. Angger sing mlebu ta, bikin kenyang dan kuat." Orang-orang di sekitarnya, pada nyambut komentar, yang bernadakan mengiyakan orang tersebut.

    Mereka-mereka bukan beriman Katolik. Namun, penghayatan tentang haram & halal, mirip, atau malah sama dengan penghayatan orang katolik. Penghayatan orang katolik, tentu berlandaskan sabda Yesus dalam Kitab-suci.  Dan jika dinalar, secara logika akal, adalah betul bahwa, Yang bikin kisruh dalam hidup dengan sesama, adalah yang keluar dari mulut. Sedang yang masuk, kebanyakan malah jadi manfaat, jadi energi untuk melakoni kehidupan.. Dan idealnya, memang demikian. Yang haram, adalah yang keluar, dari mulut. Mulutmu, harimaumu.... Kata pepatah.


    Syalom. Wilujeng. Rahayu.
    Wasalam:
    -agt agung pypm-

    Jumat, Juli 01, 2011

    Punc-Rock

    Kawasan Batang Timur, meliputi tujuh stasi besar dan kecil. Peng-udud '76 jika ke stasi, kerap mengendarai Pick-up Chevrolet, lansiran tahun delapanpuluhan. Kerap orang-orang menumpangnya. Ada kelompok pelajar. Ada kelompok buruh tani. Pernah tiga-kali dinunuti pemuda-pemuda berpenampilan punck-rock. Berpakaian serba hitam, dan rambut pada dibikin ndangak ke atas. Cara menstop-pun juga kasar. Mereka pasang badan di tengah jalan. Tidak dengan melambaikan tangan. Alias dengan cara memaksa.

    Biasanya orang-orang, ketika turun, pada mengucapkan terimakasih. Namun, kelompok pemuda punck-rock ini, tak satupun maju ke depan jendela untuk mengucapkan terimakasih, atas kebaikan orang lain. Berkaitan dengan sikap kelompok punck ini, tentu ada yang salah dalam diri mereka. Terutama dalam hal budi-pekerti, sopan-santun, moralitas. Yang jelas lemah dalam hal penghargaan terhadap orang-lain. Orang lain yang telah berbuat baik padanya. Tak tahu bagaimana pendidikannya ketika mereka di sekolah, dan di keluarga. Atau juga di hidup agamanya.

    Persoalan dasar, adalah menghargai orang-lain. Menghargai orang-lain, tak akan menjadi sikap, atau behaviour, jika tidak diinternalisasikan. Dilatih, didisiplinkan, berulang-ulang. Sampai masuk ke dalam kesadaran.

    Ketika bayar pajak-STNK, pengudud '76 antri agak panjang, dengan pembayar pajak lainnya. Ketika pada antri berdiri, tiba-tiba seorang wanita cantik-berjilbab, langsung menggeloyor maju ke depan loket. Para pembayar pajak, pada tak terima, kelihatan dari mimik wajahnya. Namun tak ada satupun yang protes, karena kelihatannya wanita itu istri seorang pejabat. Sekian waktu tak ada yang komplain, walaupun haknya dilanggar seorang wanita. Peng-udud '76 yang ikut antrian, merasa tak enak. Terusik nuraninya, maka lalu maju ke depan loket. Menghampiri wanita itu. Lalu berkata: 'Ibu akan terhormat, jika ikut antri. Jika anda nyerobot begini, kasihan orang-orang yang sedang antri khan....!'. Jujur, saya tak terima, silahkan ibu ikut antri....!'

    Dalam sebuah diskusi para pengajar, seorang pendidik pernah studi banding ke Negara Kangguru. Dia mengkisahkan, bahwa di Negara sana, anak-anak SD, dalam rangka pendidikan hak asazi manusia, diajari dengan latihan antri. Yang tentu untuk menghargai hak-hak sesama manusia.

    Mari membantu anak-anak sekolah minggu & misdinar,  agar bisa antri.....
    Karena antri is menghargai sesama.

    Syalom. Wilujeng.Rahayu.
    Wasalam:
    -agt agung ypm-