Apik atau tidaknya sebuah pertunjukkan kesenian, ditentukan oleh tukang foto. Betulkah demikian. Bisa jadi.
Minggu lalu tepatnya 26 Januari, di Paschalis Hall, diadakan acara dialog agama. Dialog disertai pentas budaya-seni 'Calung Banyumasan'. Sebagai pembuka, sela & penutup. Ketika latihan dan jendral-repetisi-nan terasa sudah lancar. Enak di mata, enak di telinga. Namun ketika pentas di hadapan umum, dua lagu sempat tersendat. Apa pasal. Setelah dievaluasi, ada dua hal. Penabuh yang piawai, tak bisa hadir, karena dipanggil Boss-nya, seorang distributor buku. Tersendat kedua, disebabkan oleh faktor external. Yaitu, penabuh 'Gong'.
Penabuh Gong, profesi utama, adalah koster. Koster katedral. Sesudah sekian waktu ikut berkesenian, dia bisa lancar memainkan alat musik itu. Namun ketika dia pentas saat itu, dalam salah satu lagu yang tersendat, dia mengaku grogi. Tak hanya grogi, malah merasa kacau. Ternyata, situasi tak nyaman itu disebabkan oleh permintaan seorang fotografer perempuan, agar ia berpose indah. Sang fotografer perempuan, mendesak-desak, agar pose-sedang-menabuh gongnya, bagus. Akibatnya, dia kehilangan alur lagu. Sehingga, mestinya ketika gong kecil yang ditabuh, malah gong yang besar. Jadi kewalik-walik.
1. By the way, sebagai sebuah kesenian, sudah jalan. Dan evaluasi, menjadikan kesadaran untuk makin giat berlatih dan memperbaiki diri, serta kelompok. Jika dihitung-hitung, sampai kini sudah Lima lagu wajib daerah Banyumas yang terkuasai. 1. Ricik-ricik, 2. Elling-eling, 3. Bendrong Kulon, 4. Manyar Sewu. 5. Waru Doyong. 6. Dawet Ayu Banjarnegara.
Untuk meng-iringi-i Ekaristi, sudah terkuasai pula satu set lagu-lagu 'Ordinarium'. Yang terdiri dari: Gusti Nyuwun Kawelasan, Minulya, Suci, Rama-Kawula, Cempening Allah. Waktu-waktu belakangan, tinggal menghafal.
2. Untuk masa yang akan datang, sudah disusun Lagu-lagu berwawasan lingkungan untuk dipelajari. Yang terdiri atas: Perahu Layar, Lesung Jumengglung, Kanca Tani, Sekar Gadung, Pantai Logending, Caping Gunung.
3. Jika program butir 2 sudah bisa, akan diusahakan membuat fragmen singkat. Durasi setengah-jam-an, atau satu- jam-an. Model pethilan. Atau drama singkat, dengan diselingi lagu-lagu.
Dengan itu, diharap Kesenian Calung, tetap hidup, survive. Tak mati, berkelanjutan. Berkembang.
Dan untuk itu semua, ternyata membutuhkan yang disebut, Pengarah Acara, Manajer, atau Ketua Kelas.
Waktu belakangan, para seniman calung sedang berpikir memilih 'Ketua Kelas'.
Rasanya, keberlangsungan budaya seni patut untuk tetap dihidupi dan dihidupkan. Seorang warga masyarakat bilang, "Dengan seni hidup jadi tidak kering, segerrrr.."
Siapa mau ndaftar. Jadi Ketua Kelas. Agar hidup tetap segerrrrr.
Syalom. Willujeng Wengi. Rahayu.
Wasalam:
-agt agung pypm-
(Ketua kelas sementara)