Seminggu sebelum minggu palma, di sebuah stasi tepi laut, pinggir hutan, diadakan ibadat rekonsiliasi, menjelang sakramen tobat. Seorang pro-diakon memimpin ibadat itu. Urutan ibadat runtut, seperti yang sudah dipedomankan dalam buku terbitan panitia APP. Sebagaimana biasa, sesudah bacaan Injil, ada kotbah dan renungan-penelitian batin. Ketika dia sedang berkotbah memberikan renungan, tiba-tiba muncul dengan keras suara: "taluliiiiit......, taluliiiiiiit........, taluliiiiiiit........!' dengan tiada hentinya. Suara itu masuk mic-pengeras suara, sehingga menambah kerasnya nada. Nada panggil sebuah Hp. Umat kaget, cari dan lihat darimana sumber suara.
Ternyata, asal suara dari sebuah Hp. Hp itu ada di saku celana. Celana itu tertutup jubah pro-diakon. Jubah itu ditali dengan singel. Talinya, dipasang dengan kuat. Bapak pro-diakon merah padam mukanya, dan bingung. Segera mau mematikan Hp-nya. Namun tak kena-kena. Karena posisinya yang sulit: di saku celana + tertutup jubah + dilillit singel + singel diikat kuat-kuat. Tidak sebentar usaha itu dilakukan, sehingga umat banyak yang tertegun, mlongo. Sekian waktu kemudian, nada dering Hp itu bisa dimatikan. Wajah malu tertangkap dari muka bapak pemimpin ibadat ketika itu. Syukurlah, ibadat tobat tetap bisa rampung.
Di kapel stasi itu, ada tulisan berbentuk bill-board, terbuah dari fiber-glass. Di dalamnya, ada lampu neon, seperti di billboard iklan-iklan. Tulisannya berwarna merah, mengandung peringatan begini: "Hp harap dimatikan". Posisinya tak di dekat pintu, namun di sebelah altar, bagian pojok. Sehingga suasana menjadi kian kaku & wagu ketika itu.
Sesudah ibadat, banyak orang ramai bicarakan kejadian itu. Banyak terdengar suara tawa, dan geli. Dalam sebuah jagongan, Si bapak pro-diakon, mengakui, bahwa dirinya lalai, khilaf tidak mematikan Hp yang di saku celananya. Padahal dia sendiri termasuk yang dorong pasang tulisan berbentuk bill-board itu. Jadilah pepatah, jadi kenyataan: 'Senjata makan tuan'.
Mengakui kekhilafan, adalah sebuah bentuk ke-utamaan, sebuah tindakan kebijakan. Di situ ada kerendah-hatian, di situ ada penyesalan & pertobatan. Mari berusaha hidup bijak.
Syalom. Wilujeng. Rahayu.
Selamat Paskah.....
Wasalam:
-agt agung pypm-
Ternyata, asal suara dari sebuah Hp. Hp itu ada di saku celana. Celana itu tertutup jubah pro-diakon. Jubah itu ditali dengan singel. Talinya, dipasang dengan kuat. Bapak pro-diakon merah padam mukanya, dan bingung. Segera mau mematikan Hp-nya. Namun tak kena-kena. Karena posisinya yang sulit: di saku celana + tertutup jubah + dilillit singel + singel diikat kuat-kuat. Tidak sebentar usaha itu dilakukan, sehingga umat banyak yang tertegun, mlongo. Sekian waktu kemudian, nada dering Hp itu bisa dimatikan. Wajah malu tertangkap dari muka bapak pemimpin ibadat ketika itu. Syukurlah, ibadat tobat tetap bisa rampung.
Di kapel stasi itu, ada tulisan berbentuk bill-board, terbuah dari fiber-glass. Di dalamnya, ada lampu neon, seperti di billboard iklan-iklan. Tulisannya berwarna merah, mengandung peringatan begini: "Hp harap dimatikan". Posisinya tak di dekat pintu, namun di sebelah altar, bagian pojok. Sehingga suasana menjadi kian kaku & wagu ketika itu.
Sesudah ibadat, banyak orang ramai bicarakan kejadian itu. Banyak terdengar suara tawa, dan geli. Dalam sebuah jagongan, Si bapak pro-diakon, mengakui, bahwa dirinya lalai, khilaf tidak mematikan Hp yang di saku celananya. Padahal dia sendiri termasuk yang dorong pasang tulisan berbentuk bill-board itu. Jadilah pepatah, jadi kenyataan: 'Senjata makan tuan'.
Mengakui kekhilafan, adalah sebuah bentuk ke-utamaan, sebuah tindakan kebijakan. Di situ ada kerendah-hatian, di situ ada penyesalan & pertobatan. Mari berusaha hidup bijak.
Syalom. Wilujeng. Rahayu.
Selamat Paskah.....
Wasalam:
-agt agung pypm-