Minggu, Agustus 31, 2008

Sedih, karena Doa yang salah

Syalom. Wilujeng enjing. Rahayu-rahayu-rahayu.
5022_005

Hari ini(1/09/2008) memasuki Bulan September. Bulan yang sama pada tahun lalu, saya memimpin misa di Kapel Adipala, Paroki Kroya, Cilacap. Ketika sampai bagian salam damai, semua umat saling jabat tangan. Di antara umat itu, adalah Pak Constan. Dia berdiri, lalu juga salaman. Namun baru satu-dua pasang tangan dia salami, jatuhlah dia ke lantai. Orang-orang pada menolong. Tidak menyangka, tidak lebih dari 7 menit, Pak Constan menghembuskan nafas yang terakhir. Dia kena serangan jantung. Bablas arwahnya. Suasana misa jadi kacau balau. Saya tertegun di altar. Hampir 20 menit. Terbengong, tak tahu harus berbuat apa. Suasananya kalut. Ada yang mijiti. Ada yang cari air panas. Ada yang ngeroki. Ada yang teriak-teriak. Bingung. Hampir semua bingung.  Berhubung suasananya tidak karuan, hosti yang sudah terkonsekrir, sesudah terpaku hampir setengah jam, berdiri di altar,  saya masukkan ke tabernakel. Umat tidak sempat menerima komuni. Ritus penutup-pun juga tidak sempat terlaksana. Kalut, kacau, bingung, tidak-karuan, sedih, meratap, entah bagaimana lagi mau dikatakan. Liturgi jadi tidak lengkap. Dus tidak pakem, tidak ideal.
Beberapa tahun yang lalu, beberapa para mahasiswa Seminari Tinggi live in di kawasan Parangtritis, diadakanlah di sebuah lingkungan doa bersama, rosario. Salam Maria didoakan secara bergilir. Giliran ketika itu jatuh pada seorang tokoh umat. Bagian awal doa Salam maria, lancar. Namun mendekati bagian tengah, mulai macet. Diulangi lagi, macet lagi. Diulangi lagi, macet lagi. Sampai tiga kali. Tokoh umat itu jadi abang-ireng mukanya.

Ketika di Kampunglaut, beberapa umat memilih lagu sendiri, untuk sebuah perayaan ekaristi. Mereka yakin sudah hapal syair dan notnya. Harap diketahui, umat kampunglaut jika latihan koor, tahap pertama syairnya dulu baru notnya. Bukan notnya dulu baru syair.  Semestinya khan, kalau belajar nyanyi, notnya dulu baru syairnya. Itu guru musik bilang.  Betul. Waktu persiapan umat merasa yakin bisa nyanyikan lagu itu. Tidak tahunya, ketika  ekaristi berlangsung, lagu itu dinyanyikan, pas sampai pada bagian tengah lagu, yang nyanyi makin dikit, makin dikit. makin dikit-makin dikit. Lama-lama tak ada yang nyanyi, alias macet. Ternyata mereka belum hapal lagunya. Memang pada awal lagu, keras nyanyinya. Tapi makin lama makin lirih, makin lirih. Dan akhirnya macet. Cet. Macet total.

Sesudah macet, suasana jadi hening sejenak, lalu tiba-tiba, serentak mereka ketawa hampir bersamaan. Umat Geli sendiri. Ha...Ha....Ha.... Kemudian ada yang komentar: "Ya ngana milih-milih lagu dhewek, macet-macet dhewek......!!"
Minggu ini, saya memimpin kompletirium di Heninggriya. Ngantuk dan capek terasa, bag. madah juga hampir kelewatan.  Hati jadi nggak enak.

Bahasa Doa bisa keliru. Rumusannya bisa tidak tepat. Bacanyapun bisa salah. Liturgi, bisa ada bagian yang kelewatan. Atau malah redandent, terulangi scr tak sengaja. Memprihatinkan.

Namun ada satu yang tak bisa keliru, yakni arah dari doa. Kiblat dari liturgi, yaitu Allah, Sang Purwaning Dumadi, Sang Hyang Widi, Allah Bapa penguasa surga dan bumi, Raja semesta alam.

Wasalam:
- agt agung pr -

Bu Rudi & Kuku Bima TL

Syalom. Wilujeng sonten. Rahayu-rahayu-rahayu.

 1600time004
Di katedral saya ketemu lagi dengan Ibu Rudi Roosali, bendahara paroki, pemilik Hotel Rosenda Baturaden. Suaminya, dr Paulus Rudi Roosali, pernah menjabat direktur RS Elisabet Purwokerto.

Beberapa waktu yang lalu, keluarga ini pernah memelihara anjing berbulu panjang. Namanya, Zena (Lafal Jawa: Seno). Sebelumnya juga pernah mempunyai sepasang anjing sejenis "Kikik". Kecil-kecil dan lucu. Sepasang anjing laki dan betina ini, dimasukan dalam satu kandang. Dengan maksud, agar menghasilkan keturunan. Namun, tunggu punya tunggu, anjing betina tidak hamil-hamil. Padahal setiap kali juga memadu kasih asmara.

Pak Rudi mencari cara, bagaimana supaya bisa beranak anjing itu. Dia iseng, mencoba-coba metode penyuburan anjing. Saat itu produk Jamu Sido Muncul Kuku Bima TL, sedang diperkenalkan pada publik. Pak Rudi membeli jamu itu. Lalu diseduhnya. Diminumkan kepada anjing-anjing miliknya. Prioritas anjing yang jantan.

Tak berapa lama, si anjing betina hamil. Beberapa bayi anjing-pun lahir. Tentu berkat Jamu Sida Muncul Kuku Bima TL. Ini keyakinan Pak Rudi & Bu Rudi.

Seorang Dokter senior-pun percaya, pepatah: "Manusia berusaha. Tuhan menentukan." Nah, di situ ada iman. Di situ ada kepercayaan.

Wasalam:
- agt. agung pr. -

Jumat, Agustus 29, 2008

Kopi Kapal Api

Syalom. Wilujeng enjing. Rahayu-rahayu-rahayu.

1600_085 Terimakasih atas tanggapan dari rekan-rekan thd tulisan-tulisan saya. Kini saya nulis lagi.

Rabu-kamis(27-28 agustus) lalu, kelompok imam-imam regio Kodya Yogya,  KAS liburan bersama, di kawasan Keuskupan Purwokerto. Salah satu di antara mereka adalah Rm YMT. Sekitar hampir 18 tahun yang lalu, saya punya pengalaman dengan Romo ini.

Di suatu sore, kami berdua berbelanja di Mirota Kampus. Selesai belanja, keluar dari supermarket itu. Di lorong jalan keluar, berjajar beberapa SPG( Sales promotion girl ) dari Kopi Kapal Api. Waktu itu Kopi Kapal Api, sedang dilaunching untuk pertama kalinya. Setiap pengunjung yang belanja ditawari gratis secangkir kopi siap minum. Kami berduapun tidak menyia-nyiakan kesempatan gratis tsb.

Kawan saya --Rm YMT-- senang bercanda, ketika menghirup kopi dia  berkomentar, "Enak ya mbak ya Kopi Kapal Kopi....!" Mendengar kalimat itu, si SPG mengkoreksinya, "Bukan Kopi Kapal Kopi mas ! Yang benar Kopi Kapal Api..!". Kawan saya menanggapinya, "Ya mbak, ya mbak." Lalu dia nyruput lagi cangkir kopi sambil mulutnya bunyi, "Ck, ck,ck...", terus komentar utk kedua kalinya, "Wah enak ya mbak Kopi Kapal Kopi....?!" Untuk yang kedua ini, si SPG berusaha ngoreksi lagi, dia agak berteriak, "Bukan Kopi Kapal Kopi mas. Tapi Kopi Kapal Api..!". Kawan saya jawab, "Ya terimakasih mbak." Berikut dia nyruput lagi cangkir kopi sambil bibirnya bunyi,"Ck, ck, ck, sssst, sssst, wah enak ya mbak Kopi Kapal Kopi....!" Untuk yang ketiga ini, si SPG mengoreksi lagi komentar kawan saya, "Bukan Kopi Kapal Kopi Mas...! Kopi Kapal Api !" Untuk koreksi yang ketiga ini, si SPG tidak ramah lagi. Melainkan wajahnya merah merona karena amarah. Mungkin merasa dipermainkan. Sambil kemudian dia pergi ke pojok counter, kelihatan bahwa menahan amarah besar.

Sesudah di boncengan sepeda motor, dia bilang pada saya, "Uwong dodolan kok nesu...". Sebenarnya tadi ada kata yang bisa ditambahkan, "Bukan kopi kapal Kopi, tapi Kopi Kapal Api, budheg...................!" Tapi si SPG tidak melakukannya. Barangkali pikirannya tidak sampai pada taktik menghadapi lawan, dengan menambah kata, "Budheg........!"

Orang kecil memang mudah dipermainkan oleh orang besar. Karena si besar punya daya dan kadang kuasa. Si kecil tak bisa berbuat apa-apa, karena kadang memang sudah tak punya apa-apa. Pertama, pesan orang tua, "Aja ngece wong ra nduwe. Uwong ora nduwe kuwi malati !"  Kedua, pesan Kitab suci kurang lebih, "Yang besar akan dituntut sesuai kebesarannya. Yang kecil akan dituntut sesuai kekecilannya." Ketiga, ajaran Gereja katolik, ada nilai solidaritas, belarasa, teologi compasion yang harus diperjuangkan.

Dus perbuatan kami berdua, masih menyimpang dari ajaran orang bijak dan pesan Kitab Suci, serta ajaran Gereja. Kami tidak mengulangi.

Wasalam:

- agt. agung pr. -

Kamis, Agustus 28, 2008

Kamitenggengen

jesussedih Berangkat dari undangan dari Kapolwil (selasa 26/8/2008), saya ikut upacara pemusnahan MIRAS di aula Polwil Banyumas.  Susunan acara terdiri dari 4 bagian: Pemusnahan minuman keras, makan bersama, doa bersama 6 agama + santunan panti asuhan, dialog interaktif. Berbagai umat datang dari Kab Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara.

Pada acara itu saya sempat duduk berdampingan dengan Kiai Haji Ahmad dari Jatilawang. Dia pengasuh salah satu pondok pesantren di Jatilawang, mewakili umat Islam. Kiai Haji Ahmad ini ternyata kakak dari Ahmad Tohari, penulis novel terkenal "Ronggeng Dukuh Paruk". Terjadi dialog, saling sapa, omong-omong tukar pengalaman.  Di dalam omong-omong itu, antara lain dia bertanya pada saya demikian: "Bapak putranya sudah berapa ?". Saya agak kaget disodori pertanyaan spt itu. Lalu saya jawab, "Saya tidak punya anak. Dan tidak boleh punya anak..!" (Red: ketika itu saya pakai pakaian resmi, jubah putih). Dari ekspresi wajahnya dia baru sadar bahwa pastor katolik tidak boleh beranak. Lalu dia menambahkan, "Saya punya anak sembilan." Tanggapan saya, "Oooo. hebat ya !" Sesudah pernyataan itu, saya pikir kalimatnya selesai. Ternyata belum. Dia melanjutkan lagi, "Itu dari istri yang pertama..." Mendengar kalimat berikutnya ini, saya jadi kaget campur heran, mlongo, kamitenggengen. Kemudian kalimatnya bersambung lagi, "Dari istri kedua, saya punya dua anak. Jadi semua anak saya ada 11 orang.." Lalu saya tanggapi lagi, "Oooo...! hebat ya." Kamitenggengan pertama, tersambung dengan kamtenggengen kedua. Saya terus jadi plonga-plongo. Pikir saya, "bisa begini ya model hidup seorang kyai ?!. Punya istri tidak monogam kok malah bangga, Tidak mensukseskan program KB pemerintah, kok bangga". Nampaknya dia kemudian tahu plonga-plongo saya, sebagai ekspresi dari rasa keheranan atas dirinya. Kemudian Kyai Ahmad bilang lagi, "Saya membutuhkan keturunan kok..!"

Munculah kesadaran dan kebanggan saya atas agama katolaik yang saya anut. Inilah bedanya agama katolik dengan agama yang lain. Nilai monogam, tak terceraikan merupakan nilai unggulan. Hirarki, magisterium, askese selibat tersadari pula sebagai nilai unggulan lain. Apakah sekarang agama juga harus berbasis kompetisi, dan kompetensi, sebagaimana kurikulum sekolah juga demikian.

Wasalam:

- agt agung pr. -

Senin, Agustus 25, 2008

Orang Katolik

Syalom, berkah Dalem, rahayu-rahayu-rahayu.

468_1024 Selamat jumpa lagi para Romo & para pemerhati Keuskupan. Purwokerto. Selamat ulang tahun bagi yang baru saja merayakannya. Selamat datang, bagi beberapa rekan yang baru saja kulanuwun.

Saya sharingkan lagi cerita ringan dari saya. Remah-remah kehidupan, semoga ada nilainya.

Akhir Agustus menuju September, saya mulai menyusuri stasi-stasi, Patikraja, Kebasen dan Kaliwedi. Berbekal pengertian konsep pastoral pedesaan, saya upayakan mendengar isu-isu persoalan umat dan masyarakat pedesaan: pertanian, ketenagakerjaan, kerusakan lingkungan, serta iman.

Majalah hidup, beberapa tahun yang lalu mengulas tentang gedung kapel Stasi Kaliwedi. Karena diprotes oleh sekelompok orang, pembangunan itu sempat terhenti. Memang demikian halnya. Namun gedung kapel ini, sekarang sudah bisa dipakai. Sementara waktu ini frekwensi pertemuan umat dicoba ditambah. Umat menjadi senang dengan terbangunnya tempat ibadah itu, Yang kurang, IMB-nya belum turun-turun. Ketua stasi sudah berulang kali ke instansi terkait, termasuk menghubungi Bupati, belum ada hasilnya.

Dalam penelusuran dinamika stasi ini, ternyata peristiwa penolakan pembangunan gedung gereja, bukan ulah masyarakat setempat. Melainkan dikompori oleh provokator, yang nota bene orang luar daerah. Ada dua provokator berperan. Seorang pengusaha jamu. Seorang lagi, oknum mantan lurah. Keduanya, sekarang tersandung jerat hukum. Usahawan jamu terjerat kasus jamu illegal, dengan BKO (bahan kimia obat). Mantan kades, tersangkut soal raskin (beras miskin). Keduanya, sempat masuk hotel prodeo.

Menurut kesaksian-kesaksian umat, warga sekitar sebenarnya tidak mempersoalkan keberadaan gedung gereja tersebut. Sosialitas keagamaan jadi rusak karena ulah provokator. Harmoni keagamaan sekarang mulai pelan-pelan terbangun lagi. Yang unik adalah, peristiwa pembangunan mesjid. Belum lama umat dekat dengan Kapel Kaliwedi membangun mesjid. Yang dipilih sebagai bendahara pembangunan mesjid itu justru seorang katolik. Rak malah kuwalik-walik.

Hal ini sesuatu yang membanggakan. Orang katolik masih mendapat tempat di kalangan masyarakat. Juga sumur Pak Parto, si ketua stasi, digunakan airnya untuk banyak orang. Ketika mereka mau nyumbang uang, Pak Parto tidak mau.

Jadi, peran sebagai garam sebagaimana diamanatkan Injil, masih terasa di umat. Mereka masih jadi garam dunia, Tidak justru digarami oleh dunia.

Terimakasih.  Wasalam:

- agt. agung pr. -

NB: Rm Teguh, kemaren saya lihat di desa ada serombongan anak pada rebutan gitar. Apakah di PSE/APP dimungkinkan dana untuk pengadaan gitar bagi anak-anak pedesaan?

Jumat, Agustus 22, 2008

Calon dokter abadi..!

Syalom, Berkah Dalem Gusti.

3348105-lg Ketika di Biara Rowoseneng, saya juga ketemu dengan seorang pemilik merk celana Jeans & pakaian, merk "GF". Ternyata, kecuali bisnis celana dan pakaian, profesi utamanya adalah seorang dokter internis, spesialis penyakit dalam. Di samping itu, dokter yang pengusaha garment ini masih mengajar di fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Jadi profesinya, bertumpuk: ya pengusaha garment, ya dokter- spesialis, ya dosen sekaligus profesor. 

Ketika itu dia berceritera tentang pengalamannya, menguji seorang calon dokter asli dari Jakarta. Segala kemampuan akademik kedokteran memenuhi syarat. Namun profesor yang ketemu saya itu tidak akan meluluskan mahasiswa yang diujinya tersebut. Dia bilang, "Sampai kapanpun saya tidak akan meluluskan mahasiswa ini untuk jadi dokter..!" Apa pasal persoalannya ? Dia mengatakan, "Moralitas kedokterannya !". Seorang dekan lain, sudah berusaha melobi profesor tersebut agar meluluskan si mahasiswa, tetapi dia tidak bergeming. Tetap pada prinsipnya. Berkali-kali dia mengatakan, "Bagaimana saya harus meluluskan seorang calon dokter dengan moralitas seperti itu. ?!, Tidak punya etika kedokteran, etika medis." .

Usut-punya usut, dalam suatu yudisium wawancara, ketika disodori pertanyaan, mana yang harus lebih dahulu diutamakan, kepentingan pasien atau kepentingan produsen obat yang notabene kerap membantu fasilitas para dokter, si mahasiswa menjawab, "Si produsen obat."

Sampai sekarang si mahasiswa belum lulus-lulus. Dan nampaknya tidak akan lulus. Saya tidak kenal si mahasiswa itu. Seandainya saya seorang malaikat, dia akan saya beritahu, kekeranganmu ada pada soal etika medis. Dus, kekurangannya dlm hal moralitas, dalam hal etika, dalam hal integritas pribadi. Di sini nampaknya faktor religi, internalisasi nilai, keagaamaan punya peranannya.

Wasalam:

- agt. agung pr -

Kamis, Agustus 21, 2008

Siapa mau beli bayi ?

Syalom. Wilujeng enjang.

2876369-md Sebagaimana ketika di Cilacap dan Kroya, sekali dua kali saya masih kadang-kadang beli kopi dan gorengan di warung-warung kecil. Pertama-tama bukan kopi atau gorengannya yang penting. Melainkan di sana ada dan terbentuk sosialitas yang khas. Kontak dengan orang beragama lain bisa terjadi. Demikian pula, isu-isu sosial kemasyarakatan bisa terdengar.

Suatu kali, ketika kopi sedang disiapkan di sebuah warung, datang seorang anak perempuan kecil, seusia balita. Digendong oleh ibu muda. Didampingi seorang bapak tua. Selisih antara mereka nampak amat jauh.  Anak kecil itu lari kesana-kemari, jondal-jondil, ketawa-ketiwi, omong ini-itu dengan lidahnya yang masih cedal. Hampir segala gerak-geriknya memunculkan gelak tawa. Pendek kata, anak itu lucu sekali, menggemaskan.

Sesudah perempuan kecil itu dibawa pergi oleh kedua orang yang berbeda jauh umurnya , saya bertanya kpd si pemilik warung, siapa orang-orang itu. Apakah mereka suami istri ? Kalau iya, apakah anak kecil itu memang anaknya ? Rumah mereka di mana ? Dsb-dsb. Ternyata, jawabannya mengagetkan. Mereka memang suami istri kendati beda jauh usia. Anak kecil itu memang anaknya, tetapi bukan asli, melainkan beli. Mereka membelinya ketika masih bayi amat kecil.    Karena penasaran, saya tanya lebih lanjut, belinya di mana ? Di Purwokerto. Harganya berapa ? Tidak tahu, kata si pemilik warung. Tetapi yang jelas bayi itu dulu beli.

Sekitar seminggu yang lalu, di dekat rumah Pak Eka, penjual koran di depan RS Elisabet, ditemukan seorang bayi di depan pintu sebuah rumah. Ditemukan pada pagi hari, esuk umun-umun. Diperkirakan bayi itu berumur empat hari. Ditaruh di depan pintu sekitar jam 4 pagi. Sampai-sampai bayi itu dirubung semut.

Untung bayi itu belum meninggal. Sesudah dirawat oleh bidan, bayi deserahkan ke polisi. Memang membutuhkan penanganan dan perawatan. Sesudah sekian waktu beberapa orang ingin ngepek anak itu, alias mengadopsinya. Semua boleh mengambilnya asalkan bawa uang tebusan Rp 2.500.000,-

Jadi, seorang bayi yang menurut kita adalah Citra Allah, bisa dibeli. Di Purwokerto lagi. Faham Citra Allah, bagi orang-orang tertentu bergeser. Malah manusiapun diperlakukan sebagai komodiltas. Tentu komoditas ekonomi.  Siapa mau beli bayi ? Bayi....! Bayi...! Bayi....!

Wasalam:

- agt. agung pr. -

Sabtu, Agustus 16, 2008

Penyembuhan

Minggu, 17 agustus 2008, kemarin saya berkunjung ke stasi Jatilawang, diteruskan ke Wangon. Di Wangon ada doa arwah untuk peringatan 100 hari dr Yitno dipanggil Tuhan.

Sesudah doa arwah seorang Ibu, berrnama Yulius bercerita. Dia tahun 80-an dibabtis di Paroki Gamping oleh Rm Abdi SJ. Sekarang menjadi umat stasi Wangon. Bermukim di dekat rumah makan Kelapa Gading Wangon Banyumas. Suaminya seorang marinir. Dulu dikenal dengan KKO.

Berkaitan dengan suaminya, dia cerita ttg pengalaman iman. Suatu kali, suaminya mengalami kecelakaan lalu-lintas. Akibatnya dalam waktu lama lumpuh, tergolek di tempat tidur. Tangan dan kaki bagian kanan tidak dapat digerakan.

Tgl 23 Desember, menjelang Natal, ketika sedang tidak ditunggui, suaminya jatuh dari tempat tidur. Ketika jatuh, lehernya terganjal botol infus, sehingga bag. kepala tidak langsung kena lantai. Mukjijat terjadi ketika  jatuh dan leher terganjal botol infus. Dengan kejadian itu malah  tangan dan kaki kanan yang tadinya lumpuh, justru mulai bisa digerakkan lagi. Sekarang Pak Julius yang anggota marinir itu sudah aktif lagi di kesatuannya. Si Ibu Julius juga rajin ke Gereja Stasi Wangon dengan penuh semangat.

Tuhan berkarya melalui aneka cara.

Wasalam:

- agt. agung pr -

Jumat, Agustus 15, 2008

Haruskah orang katolik juga tidak jujur ?

Ketika di biara trapist Rowoseneng, berbagai kalangan orang saya jumpai. Mereka berasal dari berbagai pelosok bagian Republik Indonesia ini. Suatu kali ada seorang petinggi perusahaan yang menenangkan diri di tempat itu selama tiga hari. Produk dari perusahaan itu meliputi makanan ternak, bibit ayam, bibit jagung hibrida, dan beberapa hal yang masih berkaitan dengan peternakan dan pertanian. Sesudah dari Rowoseneng, dia harus ke Kota Semarang untuk urusan bisnis, rapat dengan staff cabang Jawa Tengah. Perusahaan dia termasuk besar, kantornya ada di berbagai negara: Thailand, Hongkong, Indonesia. Inisial perusahaan itu PT Ch. Ph.tbk. (maaf agak disembunjyikan).

Posisi orang itu di bagian marketing. Selama puluhan tahun dia memegang urusan pemasaran. Banyak asam garam soal bisnis dialaminya, pahit dan manis. Yang amat pahit adalah ketika dia sebagai seorang katolik harus memperjuangkan nilai-nilai injili di ranah dunia bisnis.

Sesudah dua hari kenal saya, di ruang makan dia bercerita banyak hal. Di bagian akhir cerita,  salah satu yang diungkapkannya demikian: " Pastor, di dunia bisnis itu persaingan amat ketat. Bahkan kadang jadi tidak sehat. Ada rekan yang iri hati, ada pesaing yang main kayu dsb-dsb,

Ada beberapa hal yang di lingkup bisnis bisa jadi terbalik-balik. Suatu kali saya pernah dipanggil oleh Boss saya, sesudah rapat laporan kinerja perusahaan. Saya berusaha kerja profesional, jujur sebagai seorang beriman. Tetap ketika itu, Boss saya mengatakan, kejujuranmu itu menghancurkan saya. Padahal Boss saya seorang kristen protestan. Bagaimana pastor, haruskah saya juga tidak jujur ?!". 

Wasalam:

- agt. agung pr. -

Kamis, Agustus 14, 2008

HIDUP TANPA HUTANG

MUNGKINKAH ORANG KECIL HIDUP TANPA HUTANG ???

Ketika di Paroki Kroya, dalam satu hari saya selalu menyempatkan diri keluar dari pastoran. Berbekal konsep pastoral pedesaan, kerap keliling paroki, menjalani kegiatan parokial kegerejaan maupun berwawasan masyarakat pedesaan saya lakukan. Kegiatan bisa aneka ragam: rapat stasi, pendalaman app, mendampingi latihan koor, monitor pelajaran agama/krisma, misa stasi & lingkungan, kunjungan orang sakit, kunjungan orang terpencil, dlsb.

Dalam upaya mengetahui masalah sosial kemasyarakatan saya menyrawungi orang-orang desa, petani, pemilik warung-warung kecil di tepi-tepi sawah. Di warung kecil tepian sawah itulah tiap kali terjadi himpunan banyak orang. Dari sana terdengar pula aneka persoalan kemasyarakatan, dari soal pilkada, TKI, sampai anak SMU yang digrebek polisi karena pacaran.

Di Paroki Katedral, sekali dua kali saya melakukan hal yang kurang lebih sama. Belum lama saya kenal dengan seorang tukang tambal ban. Berangkat dari ban yang kempes di jalanl ban, pembicaraan bisa meluas lebar, dari agama sampai ekonomi. Dari kenalan itu terketahui bahwa dia anak ke 9 dari 13 bersaudara. Bapaknya pensiunan angkatan laut. Asli bapaknya di timur Malioboro Yogyakarta, bagian ledok, alias tepian sungai. Dia dan keluarganya tidak katolik. Penambal ban itu sudah berkeluarga. Anaknya satu. Istrinya sedang mengandung 7 bulan. Jadi hampir punya dua anak. Dia cerita kalau banyak saudara dari bapaknya yang beragama katolik. Agama katolik sudah tidak begitu asing baginya.

Di dalam proses sambil omong-omong, saya amati penambal ban itu selalu hanya menerima kendaraan roda dua. Tiap kali ada kendaraan roda 4, alias mobil, bawa ban kempes, selalu ditolaknya. Semula saya heran, rejeki kok ditolak.

Sesudah saya tanya, dia jawab bahwa alatnya tidak lengkap, Alat yang dia punya tidak mampu untuk menangani ban-ban mobil. Masih ada kekurangan ini dan itu, termasuk gerobak dorong untuk bawa peralatan. Apa tidak ingin melengkapinya?. Dia bilang, sebenarnya ingin, tetapi modalnya belum cukup.

Berangkat dari rasa kekurangan itu, saya mencoba mengenalkan kegiatan sosial gereja. Saya tanya apa tahu Gereja Katolik Katedral. Dia jawab, tahu. Di sana ada kegiatan amal, tanpa harus jadi katolik. Bahkan bisa pinjam modal tanpa bunga. Dia ternyata juga tahu hal itu. Maksud saya, dia mau tak hubungkan dengan komisi PSE, atau CU. Pendek kata saya ingin membantu soal permodalan mikro.

Bayangan saya, penambal ban itu akan bersemangat untuk menerima bantuan yang syaratnya ringan. Ternyata jawabannya mengagetkan. Dia tidak mau menerima bantuan-bantuan kayak gitu. Dia bilang, "Banyak orang yang mau bantu saya, dari bank plecit sampai LSM. Tetapi saya tidak mau" . Dialog orang itu dengan saya terjadi dlm dialek jawa banyumasan. Dia mengatakan, "Kula niku wegah duwe utang !. Duwe utang niku uripe ora tentrem."

Dari tambal ban roda dua, orang bisa hidup tanpa hutang. Ternyata bisa. Jaman sekarang lagi.

Wasalam:

- agt. agung pr. -

Rabu, Agustus 13, 2008

Srandil

4974023-lg Pada hari Rabu 13 Agustus 2008 lalu. Imam-imam praja KAS regio Kulon Progo wisata bersama di sekitar Keuskupan Purwokerto. Mereka menginap 2 malam di Heninggriya. Tempat yang disinggahi, Owabong, Pantai Jethis, Bendung gerak Serayu dan Srandil. Saya sempat mengantar mereka ke pantai dan ke Gunung Srandil--tempat orang mencari kekayaan--.

Sampai di Gunung Srandil sudah cukup malam, sekitar jam 6. Acaranya mengelilingi gunung srandil, tempat semedi dan melihat padepokan Cahya Buana 1610. Kebetulan di padepokan itu sedang ada acara besar. Saat itu sedang dirayakan turunnya wahyu kyai semar. Diadakan pula kemudian acara wisuda dan penerimaan anggota.

Acara dipimpin oleh Kyai Sarwo. Sebagaimana kita tahu, --sejauh saya dengar dari beberapa sumber-- bapak ini adalah mantan frater karmel. Asli dari weleri. Romo Rudi yang kebetulan ikut rekreasi dan sekarang bertugas di Paroki Wates dulu TOP di paroki Weleri. Ketika ia ada di sana, Pak Sarwo ini juga pernah menjadi semacam imam di klentheng sana.

Kyai sarwo, meskipun beretnis tionghoa memakai pakaian jawa lengkap dengan blangkon dan bebetan. Demikian juga para peziarah, meskipun banyak yang beretnis tionghoa juga memakai pakaian jawa lengkap dengan kerisnya. Mereka datang dari berbagai tempat: Jakarta, Semarang, Pekalongan, Tegal, Surabaya, dsb. Tak ketinggalan warga sekitar.

Dalam acara itu Kyai Sarwo yang mengaku diri sebagai titisannya Kyai Semar melakukan wirid. Orang-orang pada mendengarkan. Lengkapnya wiridan kami tidak ikut secara utuh, karena keburu pulang. Namun yang terdengar ada frase, "Pitik-pitik padha ngendhog...."

Lucunya, di antara mobil yang ikut acara itu, di bag spionnya ada yang digantungi rosario katolilk.

Sekian. Terimakasih.

Wasalam:

-agt. agung pr. -

Minggu, Agustus 10, 2008

Sharing Pengalaman Pastoral

1600time001 Sesudah hampir 7 tujuh tahun tidak memegang internet, kali ini sesudah di Paroki Katedral saya menggunakannya lagi. Malah tadinya sudah lupa mengoperasikannya. Untuk itu terimakasih kepada Rm Slamet Lasmunadi di Kebumen yang sudah mengajari saya mengoperasikan media ini, sekaligus memberi kesempatan menggunakan segala fasilitas penunjangnya. Tak lupa pula Rm Adi Wardaya yang selalu siap menjadi teman dalam belajar kamunikasi.
 
Sepuluh hari sudah saya hidup di Paroki Katedral. Bulan-bulan pertama saya gunakan untuk mengenal umat, situasi dan wilayah, serta hal-hal yang berkaitan dng keparokian kota dalam cakrawala kekinian. Untuk itu saya ikut ke stasi-stasi dan kegiatan-kegiatan yang ada, sejauh saya mengetahuinya. Kecuali Bumiayu, Ajibarang, Kaliwedi, Tambaknegara, serta Paroki Pusat, Jumat 8/8/2008 yang lalu saya ikut dan lalu mengisi pendalaman iman/pelajaran agama di Jatilawang.
 
Dalam pelajaran agama kali ini, sebagai pembukaan, saya tanyakan pengalaman terkini yang sdg dihadapi Umat. Hal yang paling hangat adalah melonjaknya harga-harga sembako: Beras, Rp 5000, Minyak goreng, 14.000,-, Lombok rawit, Rp 45.000,- Hampir semuanya jadi mahal. Hampir semua mahal. Namun ketika itu ada seorang ibu yang mengatakan dng tegas, bahwa ada yang murah sekarang ini. Apa itu ? Ibu itu menjawab, sekarang yang murah itu anak perempuan. Yang mahal itu keperawannya, kesuciannya. Sekarang banyak anak perempuan seusia mahasiswa yang sudah tidak perwan lagi.
 
Selidik punya selidik, ibu tadi lalu cerita, Ia punya anak laki-laki semester III. Dia disekolahkan oleh orangtuanya di Jakarta, London Internasional school. Ketika pulang liburan, anaknya cerita, bahwa hidup di kota besar itu godaannya banyak sekali. Antara lain, dia kerap disodori pil narkoba. Tak hanya itu, kawan-kawannya mengajak dia untuk praktek pacaran ala mereka. Pacaran model kawannya adalah, boleh melakukan hubungan sex meskipun belum menikah. Itu malah jadi standart umum. Si wanita rela melakukan krn takut kalau ditinggal pergi. Bagaimana kalau hamil. Mereka melakukannya dengan "coitus interuptus".
 
Si anak katolik ini, sekarang traumatis. Dia bilang kepada ibunya, tidak ingin punya pacar. Tidak ingin menikah. Susah jaman sekarang punya kawan yang masih suci. Keperawanan & dan kesucian, sekarang mahal harganya. Dia rajin ke gereja. Tapi di Jkt, tempat gereja yang dia kunjungi, anak mudapun minim jumlahnya.
 
Hati nurani anak muda asli purwokerto ini masih tajam dan menggaung terus. Dia tidak mau ikut arus kawan-kawannya. Yang membanggakan anak muda ini, ketika kecil dia sdh ikut misdinar. Bahkan klas 5 SD, sudah jadi lektor. Ternyata masih ada anak-anak muda yang kritis dan mendengarkan hati nuraninya. Semoga banyak anak muda yang seperti ini. Jadi garam dunia. Bukan malah digarami oleh dunia.
Sekian. Terimakasih sharing peng. pastoral saya.